Apps4God

Submitted by admin on Tue, 01/09/2018 - 12:00

Siapa pun yang berhasil menguasai AI (kecerdasan buatan) akan menguasai dunia.
— Vladimir Putin

Kita sedang di ambang revolusi. Revolusi berskala dunia. Berbeda dengan revolusi sosial, revolusi ini bersifat sosial teknologi.

”Konspirator-konspirator”-nya bukanlah para aktivis serikat buruh, mahasiswa, atau para filsuf ekonomi. Para penggeraknya adalah orang-orang imajinatif yang bertemu matematika dan algoritma. Subversif-subversif zaman kini yang menggunakan matematika dan algoritma untuk merumuskan imajinasinya.

Tak kali pertama ini terjadi ketika orang-orang imajinatif bertemu matematika di masa lampau membuat kita tergopoh-gopoh selama beberapa dekade untuk memecahkan prediksi-prediksinya. Namun, baru di abad ke 21 ini, mereka berskala masif dan agen-agen mereka tak hanya di kampung, kampus, atau di pabrik tertentu yang terlokalisasi. Agen-agen revolusinya ada di supercomputer, robot-robot cerdas (artificial intelligence/AI), smartphone, laptop, bahkan sudah ada di jam-jam tangan! Pelurunya bukan logam tajam bermesiu, melainkan data besar (big data), mulai dari tingkat konsumsi pulsa, jumlah klik, denyut nadi, tekanan darah, jenis makanan, olahraga favorit, musik favorit, sampai golongan darah.

Selamat datang di Revolusi Industri ke4, di mana data yang ditampilkan bisa diverifikasi faktanya. Bahwa kemudian manusia membangun cerita, citra, dan mitos terhadapnya, ia masih saja harus berbasis fakta dan data. Ini revolusi yang mengaburkan batas-batas ruang fisik, digital, dan biologis. Revolusi yang mengantarkan kita untuk hidup bersama robot cerdas, yang akan melayani atau mengambil alih 58 persen pekerjaan fisik, dan menyisakan hal-hal yang kreatif saja untuk diselesaikan otak dan otot manusia.

Berjejaring

Jejaring adalah wajah era digital. Ia sebenarnya wajah asli alam dan masyarakat yang lama tersembunyi (baca: disembunyikan), hanya saja sekarang algoritma teknologi informasi berhasil mengangkatnya ke penampakan mata manusia. Ia membuat dunia seolah sebuah ”desa” di mana segala hal tidak lagi berada jauh terpisah. Teknologi telah membuat hampir semua hal yang ada di dunia saat ini terhubung oleh jejaring fisik dan digital yang masif, di mana informasi, barang, dan jasa mengalir bebas dalam skala yang sulit kita bayangkan sebelumnya. Segala hierarki sosial yang vertikal mengarah menjadi horizontal. Paling tidak diagonal.

Di dalam jejaring itu, ekonomi digital tumbuh dan perlahan mendominasi. Hanya dalam 20 tahun sejak kelahiran internet, potensi globalnya diperkirakan 3 triliun dollar AS. Digital bukan lagi sekadar bagian dari ekonomi, melainkan ia ekonomi itu sendiri. Jejaring merupakan wadah alami untuk memunculkan paradigma ekonomi baru yang berlandaskan pada semangat kolaborasi dan partisipasi (participatory market society) selayaknya gotong royong rakyat desa. Pendekatan kolaboratif perlahan menjadi konsep yang menyeruak dalam praktik ekonomi generasi milenial, menggantikan semangat kompetisi yang dominan di era sebelumnya.

Mayoritas bisnis yang disruptif saat ini memfasilitasi munculnya kolaborasi berbasis platform teknologi. Kolaborasi jadi prasyarat utama agar perusahaan dapat berinovasi dan bersaing di pasar global yang terus berubah. Wilayah yang bekerja sama menjadi prasyarat terbangunnya struktur ekonomi yang kuat dan tahan krisis. Individu yang bekerja sama menjadi prasyarat utama tercapainya kesuksesan bersama. Di depan warga desa sering saya istilahkan sebagai desa bekerja, desa berjejaring, dan desa berinovasi agar waras bareng, pinter bareng, dan sugih bareng.

Di era digital kita merayakan kelahiran manusia sosial sebagai alternatif dari manusia ekonomi. Berbeda dengan manusia ekonomi yang egois, manusia sosial berupaya mengejar keinginannya sembari mempertimbangkan dampak dari setiap keputusan yang diambil terhadap lingkungan kolaborasi yang dihidupinya. Rute menuju kesuksesan manusia sosial bukanlah menuju puncak piramida keunggulan satu individu terhadap individu lain, melainkan menuju sentral jaringan kolaborasi antarindividu dan sumber daya. Keunggulan individual tak lagi diukur seberapa besar sumber daya yang dikuasai, tetapi sejauh mana akses dimiliki mampu melingkupi keseluruhan jejaring. Titik keseimbangan bukan pada puncak piramida statis, melainkan titik-titik dinamika jejaring sosial yang terus bergerak.

Pergeseran paradigma ini akan memunculkan perbedaan yang sangat fundamental secara makro. Paradigma manusia ekonomi yang menjadi fondasi aktivitas ekonomi manusia selama ini telah berujung pada persoalan eksploitasi sumber daya alam, ketimpangan, polusi, dan kerusakan lingkungan. Kita mengenalnya dalam istilah tragedy of the commons. Tragedi kepanasan, terendam air, atau sesak napas yang akan menimpa siapa saja, apa pun agama, ras, akun Twitter, atau grup Whatsapp-nya. Persoalan itu sangat mungkin teratasi di era saat ini. Konektivitas di era digital telah menciptakan lingkungan yang sangat baik untuk munculnya partisipasi dan kerjasama dari bawah secara mandiri (bottom up self regulation). Namun, ia tidak selalu dapat muncul dengan sendirinya. Kita perlu secara sengaja menyiapkan kerangka kelembagaan yang sesuai agar semangat kolaborasi dan partisipasi dapat memberikan dampak sosial dan individu yang pantas. Inilah tindakan politik.

Skenario

Skenario masa depan di era digital tak selalu berakhir baik. Ia juga dapat berupa mimpi buruk yang mengempas kita dalam perpecahan dan ketertinggalan. Persoalan pertama adalah ketidakmerataan akses terhadap teknologi informasi. Penetrasi internet di Indonesia saat ini masih di kisaran 25 persen penduduk, mayoritas berada di Jawa dan Sumatera (digital divide). Akses terhadap teknologi merupakan prasyarat mobilitas sosial di era digital. Namun, saat ini masih dipengaruhi level pendidikan, pendapatan, dan pertemanan seseorang. Pemerataan akses harus disertai peningkatan literasi atas teknologi. Revolusi teknologi mengharuskan kita sesegera mungkin melakukan revolusi pendidikan. Pendidikan harus memberikan penekanan pada penguasaan ”cara belajar” daripada sekadar banyak tahu karena banyak tahu bukan lagi keistimewaan di era digital. Belajar ”cara belajar” dalam rupa merumuskan pertanyaan dengan tepat akan meningkatkan kemampuan adaptif manusia Indonesia pada perubahan cepat masa depan.

Persoalan kedua, proses otomasi produksi oleh mesin dan robot akan mengguncang pasar tenaga kerja. Kemajuan teknologi saat ini telah memungkinkan produksi barang dan jasa berlangsung tanpa melibatkan jumlah pekerja yang besar. Hal ini memberikan sinyal, revolusi industri ke4 bisa berujung pada sekadar pengulangan realita ketimpangan antarindividu dan antarwilayah yang tinggi. Kita jelas membutuhkan kerangka konseptual dan institusional baru untuk menanggulanginya. Lagi-lagi ia juga butuh tindakan politik.

Alternatif pertama konsep negara berbagi melalui pemenuhan kebutuhan dasar universal (universal basic income/UBI) di mana negara menjamin pendapatan minimum bagi setiap orang untuk melanjutkan kehidupannya meski tanpa bekerja. UBI, selain sebagai jaring pengaman sosial, juga akan memberikan keleluasaan bagi setiap orang menjelajahi daya cipta estetika dan membentuk kemanusiaannya sembari membiarkan persoalan fisik ditangani mesin dan robot. Saat robot cerdas mengangkut batu atau melakukan operasi jantung, insinyur dan dokter membuat puisi dan naskah drama. Negara harus menjamin mereka tetap makan tiga kali sehari untuk membuat puisi lebih baik lagi.

Alternatif kedua adalah konsep perusahaan berbagi melalui adanya semacam valuasi dan kompensasi keuangan kepada khalayak banyak atas informasi pribadi yang mereka berikan secara ”sukarela” di ruang-ruang digital. Informasi ”gratisan” tentang kolesterol, film favorit, atau detak jantung adalah mata uang yang menjadi sumber keuntungan utama korporasi teknologi saat ini. Persis inilah yang saya lihat di kantor pusat perusahaan teknologi di Silicon Valley beberapa minggu lalu. Informasi publik di ruang digital masuk dalam kategori aset terbuka (open asset), selain konsep aset publik dan pribadi, yang perlu mendapat perlindungan dari negara. Keuntungan dari aset itu harus dapat divaluasi untuk kemudian dikembalikan dalam manfaat keuangan sepenuhnya kepada rakyat. Sekali lagi, ini butuh tindakan politik dalam rupa undang-undang.

Menurut laporan tahunan AI Vibrancy Index 2017, agregat perkembangan AI di kampus (publikasi ilmiah, konferensi, dan lain-lain) dan industri (nilai investasi, start up, dan lain-lain) mengalami peningkatan yang tajam, hampir 7 kali lebih besar dibandingkan awal 2000. AS, Rusia, dan China adalah tiga negara terdepan dalam balapan teknologi penguasaan AI, baik dalam kontribusi riset, investasi industri maupun adopsi teknologi. Ini saja sudah memberikan gambaran sederhana peta negara yang akan mendominasi dunia di masa depan. Indonesia tentu tidak boleh melongo saja melihat yang seperti ini.

Tentu bagi Indonesia kutipan Putin di atas bukan dalam kerangka mendominasi dunia. Penguasaan AI (di antaranya robot-robot cerdas) adalah jalan untuk ”ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” sebagaimana amanat konstitusi kita. Namun, tak hanya itu. Kita juga punya pekerjaan rumah besar untuk segera memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa karena model ekonomi berbagi yang sedang tren sejauh ini masih belum menjalar masif ke bawah. Kita perlu mendorongnya melalui UBI, universal bassic assets, dan pemanfaatan teknologi oleh unit bisnis rakyat dalam rupa BUMDes, dan badan usaha milik rakyat. Cuma dengan itu, semua orang Indonesia di desa dan kota siap menyongsong Revolusi Industri ke-4 dengan wajah berseri-seri.

Diambil dari:
Judul artikel: Hidup Bersama Robot Cerdas
Surat kabar: Kompas
Tanggal terbit: 16 Desember 2017
Penulis: BUDIMAN SUDJATMIKO