Apps4God

Submitted by admin on Wed, 08/15/2018 - 12:00

Tanpa dipertanyakan lagi, teknologi telah menjadi kata ajaib yang menggantikan kata ilmu pengetahuan. Karena teknologi menyatakan penerapan praktis dari ilmu pengetahuan, jelas bahwa teknologi berorientasi pada pengguna. Dengan demikian, tersedia janji ekonomi yang cerah bagi semua orang yang bisa menyediakan teknologi.

Dari segi teknologi, dunia kita sekarang ini bisa dibagi ke dalam setidaknya tiga kelompok: negara-negara yang merupakan penyedia teknologi yang kuat, baik yang orisinal maupun yang sudah ditingkatkan; negara-negara yang menjadi penghasil massal karena tenaga kerja yang lebih murah; dan negara-negara yang sebagian besar merupakan konsumen. Tanpa diragukan lagi, berada di posisi sebagai "pelopor" teknologi superior seharusnya menjadi tujuan dari negara besar mana pun. Akan tetapi, pertanyaan sulitnya adalah, "bagaimana?"

Titik yang jelas untuk memulai menunjukkan dirinya sendiri. Mengapa tidak memulai dengan negara-negara yang telah menetapkan dirinya sendiri sebagai pelopor teknologi yang kuat dan melihat apakah ada benang merah di antara negara-negara tersebut? Negara-negara Barat, setelah Renaisans dan Reformasi pada abad ke-16, menawarkan contoh yang sudah siap. Buku sejarah mana pun tentang penemuan, seperti Guiness Book of Answers, akan mengungkapkan bahwa sebagian besar penemuan ilmiah ditemukan di Eropa (termasuk Inggris) dan AS sejak akhir abad ke-17. Apa yang memicu kemajuan teknologi yang pesat di negara-negara Eropa dan Amerika Utara sekitar kurun waktu itu?

Jawabannya adalah bahwa semuanya itu dikarenakan ada sesuatu yang terjadi yang mengatur panggung bagi ilmu pengetahuan dan teknologi agar dapat muncul dengan kekuatan penuh. Meski tampak aneh, peristiwa tersebut adalah gerakan untuk kembali ke kekristenan alkitabiah di negara-negara ini.

Landasan Epistemologis Teknologi

Menurut Alfred North Whitehead dan J. Robert Oppenheimer, keduanya merupakan filsuf dan ilmuwan terkenal dari era kita (tetapi bukan orang Kristen), ilmu pengetahuan modern lahir dari pandangan dunia Kristen. Whitehead mengatakan bahwa kekristenan adalah "ibu dari ilmu pengetahuan" karena berkeras pada rasionalitas Allah.[1] Ahli entomologi Stanley Beck, meski bukan orang Kristen, mengakui premis-premis landasan ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh pandangan dunia Judeo-Christian: "Yang pertama dari premis-premis yang tidak dapat dibuktikan tempat ilmu pengetahuan dilandaskan atasnya adalah keyakinan bahwa dunia ini nyata dan bahwa pikiran manusia mampu mengetahui sifat aslinya. Dalil yang kedua sekaligus yang paling terkenal yang mendasari struktur pengetahuan ilmiah adalah dalil sebab-akibat. Premis ilmiah dasar yang ketiga adalah bahwa alam itu terpadu."[2] Dengan perkataan lain, landasan epistemologis teknologi adalah pandangan dunia Judeo-Christian yang diungkapkan dalam Alkitab.

Ini mungkin akan terdengar luar biasa bagi beberapa orang dikarenakan perasaan populer bahwa ilmu pengetahuan dan agama tidak dapat disatukan. Tidakkah kekristenan menentang Galileo dan Copernicus dengan berapi-api ketika mereka mengajukan model-model modern tentang sistem tata surya?

Meski demikian, sesungguhnya, konflik yang sebenarnya bukanlah antara kekristenan, sebagaimana diungkapkan dalam Alkitab, dan ilmu pengetahuan. Bahkan, konflik yang sebenarnya bukanlah antara ilmu pengetahuan dan agama sama sekali, melainkan antara pandangan ilmiah yang ada dan pandangan ilmiah yang baru. Pandangan dunia geosentris yang dipertahankan pada waktu itu tidaklah berdasar pada Alkitab, melainkan pada sistem Ptolemaic yang berakar dalam pandangan Plato dan Aristoteles.

Sejarawan telah mengamati bahwa fondasi ilmu pengetahuan modern dilandaskan sedini abad ke-13 ketika para sarjana, seperti Roger Bacon, menunjukkan bahwa Aristoteles membuat kesalahan-kesalahan tertentu tentang fenomena alam. Ilmu pengetahuan abad pertengahan didasarkan pada otoritas -- terutama dari Aristoteles -- daripada pada pengamatan. Ia berkembang melalui logika daripada eksperimen.[3] Copernicus dan Galileo menantang otoritas Aristoteles, menggunakan eksperimen sebagai semangat ilmu pengetahuan modern. Penekanan alkitabiah pada Reformasi, sesaat sebelum ini, telah menyediakan jalan untuk menjatuhkan otoritas Aristoteles; ia juga mendorong penyelidikan rasional terhadap dunia kita.

Barangkali, penegasan yang paling jelas bahwa kekristenan alkitabiah dan ilmu pengetahuan adalah teman dan bukan musuh berasal dari fakta bahwa sebagian besar ilmuwan mula-mula setelah zaman Renaisans juga merupakan orang percaya yang kuat meyakini Alkitab sebagai sumber pengetahuan yang berotoritas tentang asal mula alam semesta dan tempat manusia di dalamnya.[4] Kitab Kejadian, kitab pembuka Alkitab, menyajikan pandangan dunia Judeo-Christian yang jelas tentang Allah Pencipta yang bersifat personal di balik awal mula dan penopangan alam semesta (Kejadian 1:1; Kolose 1:17; dst.).

Di antara para ilmuwan penting mula-mula yang memegang pandangan dunia kreasionisme adalah Blaise Pascal (1623 -- 1662), Sir Isaac Newton (1642 -- 1727), dan Samuel Morse (1791 -- 1872) -- yang memotivasi mereka adalah rasa percaya diri akan "rasionalitas" di belakang alam semesta dan "kebaikan" dari dunia materiel. Catatan penciptaan di kitab Kejadian mengungkapkan Pencipta yang cerdas, yang memiliki tujuan, yang setelah menyelesaikan pekerjaan penciptaan-Nya menyatakan bahwa semuanya itu sangat baik (Kejadian 1:31). Hal itu meyakinkan kita bahwa alam semesta fisik beroperasi di bawah hukum-hukum yang dapat diandalkan, yang bisa ditemukan oleh pikiran yang cerdas dan digunakan dalam penerapan-penerapan praktis. Rasa percaya diri dalam kebaikan dunia materiel yang diungkapkan secara ilahi menghapuskan segala keengganan terkait perkembangan benda-benda materiel bagi kemajuan kehidupan di dalam dunia ini. Dunia rohani dan dunia materiel bisa bekerja sama dalam harmoni.

Kitab Kejadian juga memberikan motivasi penting bagi penyelidikan hukum-hukum alam dan penerapannya terhadap teknologi. Itu adalah mandat ilahi yang diberikan kepada manusia untuk menaklukkan bumi (Kejadian 1:26-28). Jelas sekali, penemuan hukum-hukum alam adalah kunci untuk memanfaatkan kekuatan-kekuatan alam bagi penggunaan dan kendali manusia. Di sinilah terdapat kunci terhadap motivasi untuk mengembangkan teknologi. Kejadian 4 mencatat perkembangan teknologi paling awal oleh manusia (4:21-22).

Akan tetapi, pandangan dunia yang dipegang oleh banyak budaya berlainan dengan pandangan dunia kreasionisme yang alkitabiah. Agama-agama yang dipengaruhi oleh filosofi dualistis memandang dunia materiel dengan kecurigaan dan ketakramahan. Dunia materiel dianggap jahat, sementara dunia rohani dianggap baik dan mulia. Meninggalkan dunia ini menjadi penanda kesucian. Yang sama merugikannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan adalah pandangan-pandangan dunia yang tidak memiliki konsep tentang Allah Pencipta yang bersifat personal dan paling berkuasa. Beberapa peradaban kuno, misalnya, yang mengembangkan beberapa ilmu matematika dan teknologi, tidak mengembangkan teori ilmiah umum, karena tidak adanya sudut pandang kreasionisme yang memberikan rasa percaya diri tentang adanya hukum-hukum rasional di alam. Hal ini secara jelas menjelaskan kurangnya ketertarikan pada bagian dari budaya-budaya ini dalam penelitian ilmiah dan teknologi. Hal ini juga menunjukkan bagaimana Reformasi, dengan kembalinya ke kekristenan alkitabiah, memicu ketertarikan fenomenal terhadap penelitian dasar dan teknologi. Kemajuan teknologi besar dan revolusi industri yang mengikutinya menunjukkan hal ini.

Landasan Etis Teknologi

Bangkitnya Amerika Utara menuju dominasi teknologi terkait dengan landasan Judeo-Christian yang dengannya negara itu memulai. Para pendiri Amerika Serikat merupakan kaum theis yang percaya dalam Pencipta yang memberikan peraturan-peraturan moral untuk hidup. Etika kerja yang mereka terapkan juga berkontribusi terhadap kemajuan pesat negara tersebut. Dalam etika ini, segala pekerjaan yang jujur dihargai sebagai hal yang bermartabat, bukan hanya pekerjaan "kerah putih". Hal ini juga memiliki akar Kristen. Yesus sendiri, pendiri kekristenan, memilih profesi sebagai tukang kayu sebelum memulai pelayanan-Nya. Bersama dengan etika kerja ini, terdapat juga iklim yang tepat untuk memulai penelitian. Sistem pasar bebas mengizinkan individu-individu dan kelompok-kelompok swasta melakukan penelitian dan mengembangkan teknologi.

Bukan pertanyaan lagi bahwa teknologi telah memberi kita berkat yang tidak terhitung. Namun, teknologi juga telah digunakan untuk menyebabkan penghancuran yang dahsyat dan penderitaan manusia. Hal ini perlu membuat kita waspada terhadap fakta bahwa teknologi, dengan sendirinya, bukanlah sarana keselamatan. Melepaskan jin teknologi telah menyebabkan dunia kita lepas kendali. Pandangan apokaliptik tentang seorang diktator super yang mengendalikan umat manusia dengan menggunakan kekuatan komputer atau kekuatan atom bukanlah tertawaan lagi. Potensi penipuan melalui teknologi, dibarengi dengan penggunaan ilegal terhadap teknologi, telah menjadi perhatian yang serius.

Bagaimana kita bisa mencegah penggunaan yang salah terhadap teknologi? Di sini, sekali lagi, kekristenan menawarkan kontribusinya yang kuat. Yesus merangkum hukum yang benar untuk hidup dalam hubungan antarmanusia demikian: "Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri." Itu benar-benar prinsip yang kuat. Prinsip itu tidak mengizinkan pembenaran apa pun untuk menggunakan teknologi untuk menyakiti orang lain. Pada sisi yang positif, hukum ini mendorong kita untuk mengembangkan hal-hal yang bisa menolong umat manusia. Standar-standar etis kekristenan alkitabiah juga mencakup penerapan kejujuran dan integritas. Kebutuhan akan hal-hal ini dalam penanganan teknologi semakin diakui.

Bangkitnya filosofi evolusionisme pada abad ke-19 telah menuntun ke arah erosi landasan epistemologis dan etis dari kemajuan teknologi yang sehat. Jatuhnya kemutlakan moral yang dihasilkannya mengatur panggung bagi penggunaan teknologi yang bersifat egois dan menyakiti. Hal ini membawa ancaman bagi kesejahteraan ekonomi dari negara-negara tempat kredit mudah tersedia dan rasa lapar akan lebih banyak lagi gawai teknologi tidak pernah terpenuhi.

Meski demikian, ada tanda-tanda harapan. Teori evolusi sendiri sekarang telah jatuh di bawah pengawasan ilmiah. Lebih jauh lagi, landasan-landasan tersebut belum benar-benar ditinggalkan oleh para ilmuwan. Mereka melakukan penelitian mereka seperti biasanya, seolah-olah mereka memercayai adanya rancangan dan hukum-hukum yang tertib dari alam semesta -- suatu keyakinan yang telah mengakar dalam pandangan dunia Judeo-Christian. Injil Kristus tidak hanya dapat membendung penggunaan teknologi yang bersifat merusak dengan penekanannya pada perihal mengasihi sesama manusia seperti diri kita sendiri, tetapi juga menyediakan penawar bagi ketamakan egois, yang ada di balik kebiasaan-kebiasaan belanja kita yang sulit dikontrol. Yesus menekankan bahwa banyaknya barang tidak menghasilkan kebahagiaan.

Dahulu, pada tahun 1832, Darwin, dalam perjalanannya yang terkenal dengan menggunakan kapal "Beagle", mengunjungi Tierra del Fuego, wilayah pantai selatan Amerika Selatan yang dihuni oleh kaum barbar yang buas, dan mengamati manusia pada titik terburuknya. Kebejatan mereka sangat mengejutkan baginya. Darwin bersumpah bahwa orang-orang biadab Fuego tidak dapat dijinakkan. Akan tetapi, dalam beberapa tahun, orang-orang biadab Fuego ditobatkan, melalui usaha seorang misionaris yang diutus oleh South American Missionary Society yang membawa Injil kepada orang-orang ini. Mereka ditransformasi secara radikal menjadi orang-orang yang rasional dan beradab. Darwin sangat terkesan dengan kesuksesan Missionary Society tersebut. Karena bersemangat untuk menyebarkan berkat-berkat dari peradaban, Darwin mengirimkan donasi kepada misi tersebut selama beberapa tahun. Tiga puluh lima tahun setelah kunjungannya ke Tierra del Fuego, dia dengan bangga menerima undangan dari South American Missionary Society untuk menjadi seorang anggota kehormatan.[5]

Kekuatan untuk mentransformasi individu-individu dan bangsa-bangsa itu masih tersedia. "Kabar Baik" yang dibawa oleh Yesus adalah bahwa kekuatan untuk mengasihi sesama seperti diri kita sendiri tersedia bagi semua orang, dari sang Pencipta. Ketika kita memiliki kasih itu, teknologi akan menjadi berkat bagi semua orang. (t/Odysius)

-- Referensi --
- Francis A. Schaeffer, How Should We Then Live (Revell, 1976), p. 132.
- Henry M. Morris, Biblical Basis for Modern Science (Baker, 1991), p. 30.
- Schaeffer, p. 131.
- Henry M. Morris, Men of Science, Men of God (Master Books, CA, 1988), 107 pp.
- Adrian Desmond & James Moore, Darwin (Warner Books, 1991), pp. 574,575.

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Institute for Creation Research
Alamat URL : http://www.icr.org/article/christianity-technological-advance-astonishing-con/
Judul asli artikel : Christianity and Technological Advance - The Astonishing Connection
Penulis artikel : T. V. Varughese, Ph.D
Tanggal akses : 18 Desember 2017