Apps4God

Submitted by admin on Fri, 02/05/2016 - 12:00

Berbicara tentang teknologi di dalam Gereja, pengalaman saya mengajarkan bahwa secara umum terdapat tiga tipe gereja. Batas-batas diantara ketiganya bisa jadi tidak terlalu jelas.

1) Gereja Kuno – yang terang-terangan menolak teknologi.
2) Gereja Kecanduan-Teknologi – yang secara buta menerima teknologi, demi teknologi itu sendiri.
3) Gereja Digital – yang menggunakan teknologi tertentu untuk tujuan yang spesifik.

Sebelum kita menyelami tipe-tipe tersebut, saya akan mendefinisikan 'teknologi' dalam konteks artikel ini. Ketika saya berbicara tentang gereja lokal, maka teknologi yang saya maksud secara khusus adalah teknologi digital. Di Amerika modern, Anda akan kesulitan untuk menemukan sebuah gereja tanpa pendingin atau pemanas udara di musim yang ekstrim, atau penggunaan lampu, dan kelistrikan. Saya tidak percaya bahwa gereja akan berdebat tentang penggunaan teknologi ini, namun demikian, ada gereja yang masih memperdebatkan penggunaan berbagai macam teknologi industri (lampu, kamera, gaya!), bahkan alat-alat listrik atau digital, dan tentu saja media digital.

Gereja Kuno

Gereja yang menolak teknologi digital mungkin saja berbuat hal itu karena sejumlah alasan. Filosofi mereka pada umumnya berbenturan dengan penggunaan teknologi. Beberapa pihak dari kelompok ini mungkin saja melihat teknologi terlalu duniawi, atau sama sekali tak bisa dibenarkan, yang bertentangan dengan keinginan mereka untuk hidup lebih saleh. Di sisi lain, beberapa orang melakukannya untuk menghindari sejumlah penghalang dan gangguan spiritual. Ini sah-sah saja, seandainya pemikiran itu hanyalah sebuah filosofi internal yang bisa melengkapi mereka yang menggunakan metodologi lain.

Namun, gereja-gereja ini biasanya memiliki pola pikir bahwa "teknologi adalah buruk, karena itu mereka yang menggunakannya pun sama buruknya."

Saya telah melihat gereja-gereja ini, jadi saya akan mengatakan bahwa meski manusianya sendiri bermaksud baik, filosofi ini sulit diterima secara Alkitabiah, dan sulit dipertahankan secara praktis di dunia yang selalu berkembang ini.

Biasanya ini adalah gereja yang tidak berkembang dan tidak terlalu berpengaruh dalam komunitas mereka. Penutupan atas gereja-gereja kebanyakan terjadi ketika sebuah gereja tidak menyesuaikan diri dengan metode ibadah dan penjangkauan modern. Pesan dari Injil adalah abadi, tetapi dunia sekitar kita pasti berubah dan ada media yang baru yang perlu dipertimbangkan.

Gereja Kecanduan-Teknologi

Tipe Gereja yang ada di ujung spektrum lainnya adalah gereja kedua, yang secara buta menerima teknologi demi teknologi itu sendiri. Gereja ini mungkin akan melakukan segala sesuatu yang bisa dilakukan untuk terlihat keren dan terkini. Efek penggunaan teknologi barangkali menjadi fokus utama gereja ini. Gereja ini bahkan mungkin berusaha untuk unggul dalam setiap detail, tetapi jika menggunakan teknologi berakibat mengorbankan pelayanan demi hiburan, maka gereja-gereja ini telah kehilangan tujuan sebenarnya.

Gereja ini akan sering menerobos batas, mengandalkan teknologi untuk melakukan pekerjaan Injil. Padahal kenyataannya, gambar beresolusi tinggi, video yang berkualitas, efek kabut fantastis, dan pertunjukan lampu tidak akan berarti apa-apa tanpa sebuah tujuan. Penggunaan teknologi apapun oleh sebuah gereja tidak akan berarti apa-apa kecuali dimaksudkan untuk misi dari gereja itu - yang adalah untuk menjangkau dunia, merangkul mereka dengan cara yang lebih efektif, mendorong pertumbuhan rohani dan lebih banyak lagi aktivitas pemuridan.

Teknologi bukanlah resep rahasia yang membawa orang kepada Yesus.

Teknologi adalah alat seperti palu, yang seharusnya berada di tangan seseorang yang tahu bagaimana menggunakannya dengan maksud yang konstruktif. Gereja ini mungkin lihai dalam memperindah tampilan luarnya, tetapi mungkin tidak lagi memberi dampak pada jemaat. Gereja kecanduan-teknologi kurang memiliki strategi dan tujuan.

Gereja Digital

Yang terakhir, gereja ketiga adalah gereja yang sangat paham dalam penggunaan teknologi. Ini adalah sebuah gereja yang dengan sungguh mempertimbangkan mengapa Ia hadir, menimbang setiap program gereja dan setiap bagian dari teknologi untuk mencapai tujuannya.

Menyalakan lampu dalam sebuah bangunan tidak berarti memenuhi rumah tersebut, sama halnya dengan itu, memperkuat teknologi tidaklah menjamin kesuksesan.

Ekspektasi bahwa teknologi akan otomatis membuat pelayanan Anda sukses adalah harapan yang tidak realistis. Saya percaya gereja ketiga ini menemukan keseimbangan yang baik antara strategi gereja dalam teknologi dan pelayanan yang dipimpin oleh Roh.

Mereka memilih untuk menggunakan teknologi tertentu, dan mereka juga mengetahui apa tujuan penggunaannya. Gereja kategori ketiga ini akan memiliki mentalitas yang mengutamakan Injil dengan penggunaan teknologi yang jelas dan strategis sebagai instrumennya. Studi menunjukkan bahwa gereja-gereja dengan penggunaan teknologi media digital yang lebih terarah memiliki kehadiran mingguan jemaat yang lebih besar, keterlibatan yang lebih tinggi dari anggota dalam darma bakti dan kegiatan-kegiatan gereja, dan bahkan lebih dermawan. Saya menjamin bahwa meski bukan teknologi saja yang menyebabkan pertumbuhan itu, itu adalah hasil kombinasi dari media yang tepat dengan pesan yang tepat.

Selama ribuan tahun, pesan dari Gereja tidak berubah, tetapi medianya pasti berubah.

Hari ini, Gereja Digital menjadi patron interaksi gereja, penjangkauan dunia, dan kebangkitan spiritual. Mereka ada di posisi terbaik untuk menjadi pemimpin gereja digital dan menjembatani kesenjangan antara "metodologi empat dinding" - di mana semua kegiatan gereja dan pengalaman rohani terjadi dalam batas gedung gereja lokal - dan zaman internet yang saling terhubung.

Bagaimana teknologi berdampak pada keterlibatan rohani Anda? Apakah gereja Anda memiliki strategi gereja digital? (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs: Church Tech Today
Alamat URL: http://churchtechtoday.com/2014/02/17/typecast-church/
Judul asli artikel: The Typecast Church: Old-School, Tech-Junkie, or Digital Church?
Penulis artikel: Robert Coletti
Tanggal akses: 2 Februari 2016