Teknologi Menolong Alkitab Terus Maju
- Read more about Teknologi Menolong Alkitab Terus Maju
- Log in to post comments
- 0 views
Masalah kebutaan Alkitab pada masa kini merupakan topik diskusi dan debat yang terus berkembang. Statistik baru-baru ini menunjukkan bahwa kebanyakan orang Amerika, bahkan kaum Evangelis yang sangat menyayangi dan sering mengutip Alkitab, hanya memiliki sedikit pengetahuan atau pun pemahaman tentang Alkitab.
Penulis "Where Good Ideas Come from: The Natural History of Innovation" ("Dari Mana Ide-Ide Bagus Berasal: Sejarah Alamiah Inovasi" - Red.), mengatakan bahwa "perubahan terjadi saat kita mengambil suatu konfigurasi, lalu menyusunnya ulang dalam cara-cara baru."[1] Yang dia maksudkan adalah bahwa sebagian besar ide baru bukanlah hasil dari sesuatu yang timbul dari ruang hampa. Ide itu lebih berkenaan dengan mencocokkan hal-hal yang sudah terbukti dan menyusunnya ulang dalam cara-cara baru untuk mendapatkan dampak lebih besar.
Teknologi adalah alat yang menolong kita menghidupi panggilan yang diberikan Allah kepada kita. Ini adalah salah satu hal terpenting yang perlu kita pelajari saat membahas topik seputar teknologi dan kecerdasan buatan.
Saat menggulir Twitter di kereta dalam perjalanan pulang, saya menemukan sebuah foto ponsel berpenampilan aneh -- berwarna hitam pekat dan putih kertas. Seorang mantan rekan sekerja menggunakan ponsel berteknologi rendah tersebut selama sekitar setahun. Saya terkagum karena sudah mempertimbangkan untuk menyingkirkan ponsel pintar saya sama sekali. Unggahan tersebut secara tidak sengaja menyingkapkan kebutuhan yang saya rasakan. Setelah beberapa hari menonton video-video ulasan tentang produk tersebut, saya pun membelinya.
Tidak satu hari pun berlalu tanpa kita menggunakan teknologi dalam bentuk tertentu. Pengaruh teknologi dalam hidup kita dapat ditelusuri hingga ribuan tahun lalu sampai ke penggunaan sekop dan tombak. Entah itu sesederhana kursi atau serumit sistem yang ditawarkan dengan antarmuka berotak komputer, teknologi ada di sekitar kita. Dalam satu hingga dua dekade terakhir, kita telah melihat pertumbuhan pesat inovasi teknologi.
Saya tidak akan lupa saat pertama kalinya saya menulis cuitan yang menjadi viral. Baiklah, sejujurnya cuitan itu tidak benar-benar menjadi viral. Namun, menurut ukuran saya, cuitan itu mendapat banyak perhatian. Itu adalah cuitan bersambung yang mendiskusikan warisan kotor evangelikalisme di Amerika Serikat. Kristin Kobes Du Mez, Beth Allison Barr, dan banyak orang lain mencuitnya ulang. Otak saya meledak dengan endorfin saat tanda suka, cuitan ulang, dan komentar bermunculan. Saya tidak tahan untuk tidak memeriksa ponsel saya terus-menerus.
Mengapa Gereja Akan Selalu Berkumpul
Di sini saya duduk, pembaca yang budiman, di salah satu sisi layar di Sydney, Australia, dengan Anda (kemungkinan besar) melihat dari sisi lain layar di bagian lain dunia -- dan saya berharap sesuatu yang luar biasa akan terjadi. Saya berdoa agar, meskipun dipisahkan oleh jarak dan waktu, kita akan tetap bertemu selama beberapa menit ke depan melalui kata-kata yang tampil di layar.
Ini adalah keajaiban ketika Anda memikirkannya.
Saat kebanyakan dari kita memikirkan tentang kecerdasan buatan (Inggris: artificial intelligence) (AI), kita cenderung memikirkan tentang dampak merusak yang diakibatkan oleh otomatisasi dalam ketenagakerjaan atau bahkan tentang bagaimana alat-alat ini dapat memengaruhi keluarga kita. Pertanyaan-pertanyaan etis seputar AI tidak terbatas jumlahnya dan kompleks. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menuntut perhatian gereja pada masa kini karena keputusan-keputusan ini tidaklah dibuat dalam kehampaan.
Cara Menggembalakan Kawanan yang Dibentuk oleh Algoritme
Sherry mulai menangis. Suaminya merangkulnya, menariknya mendekat, dan berkata, "Semua akan baik-baik saja." Itu adalah sentimen yang baik. Tapi itu salah. Dia telah kehilangan ibunya.
Bukan karena meninggal, tetapi gara-gara Facebook.