Apps4God

Submitted by admin on Tue, 02/07/2023 - 14:28

Saat menggulir Twitter di kereta dalam perjalanan pulang, saya menemukan sebuah foto ponsel berpenampilan aneh -- berwarna hitam pekat dan putih kertas. Seorang mantan rekan sekerja menggunakan ponsel berteknologi rendah tersebut selama sekitar setahun. Saya terkagum karena sudah mempertimbangkan untuk menyingkirkan ponsel pintar saya sama sekali. Unggahan tersebut secara tidak sengaja menyingkapkan kebutuhan yang saya rasakan. Setelah beberapa hari menonton video-video ulasan tentang produk tersebut, saya pun membelinya.

Saya membeli ponsel pertama saya pada usia pertengahan 30-an saat pindah ke New York City 11 tahun yang lalu, ketika saya masih bekerja sebagai profesor di sekolah tinggi. Ponsel itu adalah "ponsel bodoh" yang biasanya saya biarkan tergeletak di dalam ransel. Saya akhirnya beralih perlahan ke iPhone refurbished (iPhone yang ditarik kembali dan diperbaiki karena hanya mengalami kerusakan minim - Red.) sekitar 6 tahun yang lalu. Ponsel iPhone tersebut pada akhirnya berpindah dari ransel ke saku kiri depan saya. Saya tidak pernah memasang aplikasi media sosial di dalamnya -- hanya email dan peramban web. Akhir-akhir ini, saya menambahkan permainan menghancurkan bata dan memainkannya sering kali untuk mengalihkan perhatian saya di kereta dalam perjalanan pulang.

Saya akrab dengan sengatan kecanduan. Saya dahulu biasa merokok sebanyak dua bungkus dalam sehari selama 10 tahun. Dalam rengkuhan kecanduan yang mesra, saya tidak dapat bertahan lama tanpa merokok. Sekitar 15-20 menit setelah isapan rokok yang terakhir, rasa cemas saya meningkat menjadi kebutuhan menggila untuk mendapat kelegaan. Seluruh eksistensi saya merasa gelisah dan hanya menjadi tenang ketika merokok -- 40 kali dalam sehari. Itu melelahkan.

Berdiam diri, baik secara mental maupun jasmani, selalu sulit bagi saya. Saya sering kali memiliki banyak hal yang harus dilakukan. Namun, memelihara disiplin berdiam diri memerlukan rasa aman dalam tingkat tertentu dengan diri sendiri dan dengan Allah. Di sisi lain, ponsel pintar menawarkan cara yang terlalu mudah untuk memfokuskan pergerakan saya yang konstan, tanpa benar-benar memperlambat saya.

Alkitab memberi perintah kepada kita untuk berdiam diri mingguan -- yaitu pada waktu Sabat. Tubuh kita dirancang untuk berdiam diri setiap hari saat tidur, yaitu ketika kita memercayai kedaulatan Allah untuk menopang segala sesuatu dan "menjaga jiwa kita" saat kita terlelap. Orang yang berbeban berat menemukan kelegaan mereka dalam Yesus (Mat. 11:28). Namun, ponsel mulai menjadi sumber utama beban mental saya. Ia selalu menyala. Ia menyediakan akses instan terhadap tugas-tugas yang perlu dikerjakan.

Orang Kristen seharusnya dikenal dengan rasa diam diri serta terus menerus mempraktikkan berdiam diri. Jika boleh jujur, saya takut untuk berdiam diri karena tindakan tersebut secara diam-diam menegaskan bahwa saya tidak memegang kendali.

Meski penggunaan aplikasi saya tampak terkendali dibandingkan dengan beberapa mahasiswa saya, saya merasakan perasaan bersalah yang samar-samar saat menghabiskan seluruh waktu perjalanan pulang dengan membaca berita, memeriksa email, melihat media sosial melalui peramban web, dan menghancurkan bata. Saya menyadari sengatan kecanduan yang tak kentara dari ponsel di dalam saku saya ini.

Tubuh kita dirancang untuk berdiam diri setiap hari saat tidur, yaitu ketika kita memercayai kedaulatan Allah untuk menopang segala sesuatu dan "menjaga jiwa kita" saat kita terlelap.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Setiap semester, saya menantang mahasiswa baru untuk menjalani satu minggu tanpa layar gawai: tanpa teks, tanpa streaming, tanpa musik. Saya mencatat berbagai reaksi mereka terhadap tantangan ini. Dalam tahun-tahun terakhir, mahasiswa saya kecanduan terhadap Instagram. Namun, pada 2021, para mahasiswa mengatakan bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa musik. Musik menolong mereka "membenamkan", "mengalihkan perhatian", "menutup", dan "mematirasakan" diri mereka sendiri terhadap dunia nyata. Ini adalah perkataan mereka. Dengan mengobati emosi mereka dengan musik, sebagai efek sampingnya, refleksi dan kontemplasi tampaknya menjadi rusak.

Saya mengawali tantangan digital tersebut setelah meneliti dampak ponsel pintar terhadap remaja. Saya kira itu akan menjadi ilustrasi hidup untuk buku yang sedang saya tulis tentang kuasa ritual untuk membentuk pemahaman kita. Penelitian tersebut tidak membesarkan harapan. Semuanya adalah hal-hal yang sudah kita dengar. Ponsel kita mengolok-olok neurologi kita. Aplikasi-aplikasi media sosial (khususnya Instagram) mengobarkan depresi dan rasa cemas. Dan, yang paling sulit dalam perspektif saya, tuntutan 24/7 untuk perhatian mereka terutama berasal dari orang tua mereka. Mereka diharapkan selalu "menyala".

Bagi para mahasiswa saya, istirahat, kebosanan, kesunyian, dan segala ritual manusia yang diajarkan di seluruh Alkitab dianggap tidak mungkin dicapai karena tidak masuk akal. Menjauhkan ponsel dari tangan dan tubuh mereka tampaknya adalah sebuah mimpi bagi mereka. Dan, saat mereka menganggap mimpi semacam itu tidak realistis, mimpi-mimpi lain dapat tersingkirkan juga bersamaan dengan hal itu: disiplin diri secara seksual, kepuasan, pemberian yang murah hati, melepaskan kesempatan bergengsi, dan sejumlah tindakan lainnya yang menjadi ciri kedewasaan Kristen.

Sejauh yang mereka ingat, banyak mahasiswa mengaku tidak pernah mengalami rasa bosan yang tak teralihkan. Saat berdiam diri tidak terelakkan, banyak dari mereka mengaku merasa cemas hingga harus mendapatkan terapi musik agar tidak mengalami serangan rasa panik. Ini adalah perkataan mereka.

Seminggu setelah melihat "Ponsel Ringan" di Twitter itu, ponsel pesanan saya tiba. Salah satu rekan saya menggambarkan benda itu sebagai "Kindle kecil dengan ponsel yang tertanam di dalamnya". Itu kurang lebih benar. Ponsel itu bisa menelepon, mengirimkan pesan, memutar audio, menunjukkan navigasi, dan memiliki alarm dan kalkulator. Ponsel itu tidak bisa mengambil foto ataupun memasang aplikasi, dan saya selalu muncul sebagai gelembung teks hijau (penanda bahwa pengirim pesan bukanlah pengguna iPhone - Red.) dalam tampilan chat di iPhone rekan-rekan saya.

Jadi, seperti apa rasanya beralih ke ponsel yang "dirancang untuk digunakan seminimal mungkin"? Pada minggu pertama, saya terus mengeluarkannya dari saku, sebagaimana iPhone telah melatih saya. Ponsel bodoh itu segera melatih ulang saya untuk meninggalkan kebiasaan lama itu. Saya dan ponsel itu hanya akan saling bertatapan. Kemudian, saya akan menyadari bahwa tidak ada yang perlu dilakukan, memencetnya beberapa kali seolah baru saja mengirimkan email penting, merasa agak konyol, lalu mengembalikannya ke dalam saku.

Matt Wiley, mahasiswa doktoral di Trinity Evangelical Divinity School yang ponselnya menginspirasi saya, sudah menghapus media sosial dari ponselnya tanpa tergoda oleh berita dan email. "Penggunaan iPhone saya sudah cukup minimal, tetapi saya masih mendapati diri saya menggunakannya lebih sering daripada yang saya inginkan," katanya. "Saya mendapati bahwa saya pasti akan mengisi momen kecil apa pun dengan mengeluarkan ponsel. Saya bahkan tidak tahu apa yang akan saya lakukan dengan ponsel itu -- mengeklik tanpa tujuan."

Saya juga mendapati diri terus-menerus merespons email, membaca berita, atau mendengarkan podcast. Saya hanya memiliki sedikit keheningan dalam hidup, kecuali selama waktu-waktu tenang yang disengaja, tetapi waktu-waktu semacam itu hampir selalu ada pada pagi hari. Pada malam hari, pikiran saya terbagi dengan berbagai diskusi, pemikiran, dilema, email, dan masalah keluarga.

Dengan memisahkan ponsel dari komputer, ada beberapa manfaat yang timbul. Pertama, saya mulai memiliki waktu-waktu terkonsentrasi untuk melakukan lebih banyak tugas yang terfokus. Saat saya jauh dari komputer, saya merasa jauh -- bebas dari desakan untuk memeriksa sesuatu.

Aaron Griffith, profesor sejarah di Whitworth College, sudah menggunakan ponsel berteknologi rendah sejak musim gugur lalu. Dia tidak hanya menyadari manfaat-manfaat "pendorong sabat" saat tidak ada yang dapat dilakukan dengan ponsel, tetapi juga bagaimana hal itu menolong dia mengerjakan tugas-tugas terfokus. Dia sangat senang karena bisa pergi ke kedai kopi dengan sebuah buku dan ponselnya dan masih tetap bisa membaca buku. Ponselnya tidak mencuri perhatiannya.

Griffith, yang mengaku menikmati dunia yang dapat diakses lewat aplikasi, bahkan mengapresiasi bahwa "fitur berkirim pesan teks dengan teknologi rendah tidaklah menyenangkan untuk digunakan." Layar sentuh ponsel itu merespons sedikit lebih lambat daripada yang saya inginkan. Ia memaksa saya untuk memperlambat diri, bersabar, dan membuat keputusan tentang apakah saya benar-benar ingin mengirimkan pesan atau menunggu untuk berbicara langsung secara tatap muka.

Utamanya, saya merasa seolah mendapatkan otak saya kembali, juga perhatian sensorik saya. Manfaat nomor satu bagi saya adalah pikiran yang jernih dan waktu untuk berpikir. Sebulan berjalan dan saya merasa jauh lebih koheren dalam ruang kepala saya sendiri. Setelah tubuh saya benar-benar menyadari bahwa tidak perlu mengeluarkan ponsel untuk apa pun, saya mulai memerhatikan aroma, suara, dan pemandangan lebih daripada sebelumnya. Doa saya pun bertambah pula, dan lebih banyak dinaikkan dalam bentuk syafaat daripada permintaan untuk diri sendiri.

Yang saya pelajari dari para mahasiswa dan diri sendiri adalah: Tidak satu pun dari hal ini adalah sihir. Saya bisa menjadi sibuk dan "terus menyala", terlepas dari apakah saya memiliki ponsel atau tidak. Melakukan perubahan itu hanya upaya mengguncang ritual harian saya dengan cukup kuat untuk membuat saya memikirkan ulang tentang bagaimana seharusnya saya secara jasmani dan emosional menavigasi ruang tempat Allah menempatkan saya.

Bagi saya, baris paling mengerikan dalam kitab Mazmur adalah, "Diam dan ketahuilah bahwa Aku adalah Allah, Aku akan ditinggikan di antara bangsa-bangsa; Aku akan ditinggikan di atas bumi" (Mzm. 46:11, AYT). Dalam cara yang biasa, beralih ke ponsel berteknologi rendah meredakan rasa ngeri saya terhadap keheningan dengan memaksakan diam diri ke dalam banyak jeda kecil dalam hari yang saya jalani.

Namun, itu tidak berarti bahwa kita harus menukar gawai. Menghapus aplikasi email atau media sosial, menyalakan modus pesawat di ponsel selama kurun waktu tertentu, atau beralih ke layar abu-abu juga adalah cara untuk menolong kita mengevaluasi ulang relasi kita dengan komputer mini di saku kita. (t/Odysius)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Christianity Today
Alamat situs : https://christianitytoday.com/ct/2022/march-web-only/spiritual-lessons-from-my-dumb-phone.html
Judul asli artikel : Spiritual Lessons from My Dumb Phone
Penulis artikel : Dru Johnson