Minggu ini, Pew Research Center merilis secara luas sebuah studi yang menunjukkan adanya penurunan tajam dalam afiliasi keagamaan di AS sejak tahun 2007. Para komentator memperdebatkan peran faktor-faktor seperti teologi, tingkat kelahiran, dan imigrasi, namun satu hal yang menarik untuk dicatat adalah bahwa tahun 2007 merupakan tahun yang sama ketika Apple merilis iPhone dan Google memperkenalkan Android.
Menyalahkan smartphone untuk penurunan agama dan munculnya "ketiadaan kepercayaan" tentu saja konyol, tetapi sulit untuk tidak berpikir bahwa kesukaan kita terhadap benda persegi panjang bersinar di saku kita itu, tidak memberi sedikitnya sejumlah pengaruh dalam pergeseran budaya ini.
Teknologi dan Tesis Sekularisasi
Untuk menjelaskan penurunan agama di Eropa selama abad ke-19 dan ke-20, sosiolog agama mengemukakan Teori Sekularisasi, yang berpendapat bahwa ketika pendidikan, demokrasi, dan ilmu pengetahuan menyebar, maka agama akhirnya kehilangan kewenangannya, dan sekularisme menjadi dominan. Dengan kata lain, semakin Eropa dimodernisasi, maka semakin kurang religius jadinya.
Namun, dalam sebagian besar abad kedua puluh, teori Sekularisasi tidak benar-benar berlaku di Amerika Serikat. Keyakinan agama di negara ini tetap kuat, dan pertumbuhan Islam di seluruh dunia serta Kekristenan di Amerika Latin, Asia, dan Afrika memaksa para sosiolog untuk mempertimbangkan kembali bagaimana sekularisasi bekerja.
Akan tetapi, meski mekanisme sekularisasi tidak sama di semua kasus, penting pula untuk dicatat bahwa sekuarlisasi sangat terkait dengan teknologi. Dalam "The Homeless Mind" (Pikiran Acak - Red.), Peter Berger, menulis bahwa modernisasi pada dasarnya adalah, "transformasi ekonomi dengan alat-alat teknologi." Dalam pemahaman ini, teknologi dianggap memainkan sebagian peran dalam pergerakan menuju sekularisasi dan munculnya "ketiadaan kepercayaan."
Sebuah Fasilitas yang Tidak diinginkan Para Fans Google Manapun
Saya baru-baru ini melihat gambaran tentang bagaimana kemajuan teknologi dapat menekan pengaruh agama, meskipun secara kebetulan. Beberapa bulan yang lalu, saya berkesempatan mengikuti tur ke kantor pusat Google di Mountain View, CA. Seorang staf muda Google yang cerdas dan pandai saat itu mempresentasikan detil-detil teknologi yang menarik seperti server pertama yang pernah digunakan Sergey dan Larry dan juga fasilitas-fasilitas yang banyak diperbincangkan seperti makanan gratis di setiap sudut tempat, Octobikes, layanan laundry, penitipan anak, ruang perawatan, dan seterusnya.
Semakin lama kami berjalan, saya sadar bahwa satu-satunya hal yang kurang dari kantor Google adalah representasi fisik dan nyata dari iman. Tentu saja, para pemimpin perusahaan tidak mungkin mendirikan kapel di tempat kerja mereka dan tidak terkecuali Google. Namun, Google dan perusahaan-perusahaan Silicon Valley merupakan salah satu yang terbaik dalam hal fasilitas dan tunjangan yang mereka tawarkan untuk menarik dan mempertahankan karyawan. Pusat perdagangan multi-budaya lainnya seperti bandara dan universitas pun memiliki ruang ibadah untuk beragam agama, jadi kenapa perusahaan teknologi raksasa tidak memilikinya?
Saya pikir sebagian alasannya adalah karena tidak ada yang meminta dibuatkan sebuah kapel. Dan tidak ada yang meminta untuk sebuah kapel karena akan bertentangan dengan orientasi kemajuan dari Silicon Valley. Tidak seperti Octobike atau pod pijat, yang memperkuat gagasan bahwa teknologi dapat memecahkan masalah, kapel mengingatkan kita akan kebutuhan yang lama terlupakan yang tidak dapat dipenuhi oleh teknologi.
Para dewa di Kantong Kita
Hari ini, prinsip kemajuan yang begitu diagungkan di sektor bisnis dan teknologi, telah mengambil perhatian kita sedikit demi sedikit. Sebagai bangsa yang berbudaya, kita menghabiskan sejumlah besar waktu untuk membahas pertambahan ukuran layar, peningkatan akses Internet, pengembangan aplikasi — kemajuan, kemajuan, kemajuan itulah yang kita katakan pada diri sendiri.
Pada saat yang sama, kita mengisi hampir setiap momen kehidupan kita dengan bunyi, getaran, dan pengingat, mengikis peluang apapun bagi jiwa kita untuk memunculkan suatu kebutuhan yang tidak akan dapat dipenuhi oleh perangkat teknologi. Semakin banyak kita menggunakan perangkat kita, semakin kita percaya dengan gagasan bahwa kebutuhan utama kita dalam hidup adalah semua hal yang dapat dipenuhi oleh teknologi. Pemikiran bahwa "Ada sebuah aplikasi untuk itu" begitu marak sehingga ketika tidak ada sebuah aplikasi untuk sesuatu, tampaknya itu bukanlah masalah besar. Berapa banyak dari kita yang telah mencoba untuk menyelesaikan masalah kita atau mengatasi kurangnya disiplin rohani dengan sebuah aplikasi?
Dalam situasi seperti ini, barangkali tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa budaya sarat teknologi pada umumnya, dan ponsel pintar pada khususnya, cukup berperan dalam menurunkan semangat keagamaan dari banyak orang Amerika pada pergantian abad ini. Sekarang ketika teknologi yang berorientasi pada kemajuan adalah piranti tetap dalam kehidupan hampir setiap orang di negeri ini, tidak mengherankan bahwa semakin sedikit orang yang merasa membutuhkan agama dalam kehidupan mereka.
Apakah Gereja Memiliki Sesuatu untuk Diberikan?
Perubahan budaya selalu dirasa mengancam bagi gereja, tetapi masa lalu mengajarkan bahwa hantaman akan membuka peluang bagi gereja untuk kembali berfokus pada jati dirinya yang sebenarnya. Dalam dunia di mana banyak orang telah terpenuhi kebutuhan fisiknya melalui teknologi, gereja harus mencari tahu apa yang unik yang dapat diberikan kepada dunia.
Google akan selalu memiliki informasi lebih banyak, Spotify akan selalu memiliki musik yang lebih baik, dan Starbucks selalu akan (bisa dibilang) memiliki kopi yang lebih enak. Namun, informasi, musik, dan kopi bukan untuk menggantikan gereja. Milik kita adalah kebenaran, ibadah, dan persekutuan yang semuanya diberikan kepada kita, bukan sebagai sebuah produk yang dapat kita unduh dan konsumsi hingga kita bosan, tetapi sebuah perjumpaan yang tak pernah menjemukan dengan Kristus yang hidup dan telah bangkit
Diterjemahkan dari:
Nama situs: Don't Eat the Fruit
Alamat URL: http://donteatthefruit.com/2015/05/declining-religion-in-america-theres-an-app-for-that/
Judul asli artikel: Declining Religion in America? There's an App for That
Penulis artikel: John Dyer
Tanggal akses: 2 Februari 2016