Apakah Teknologi Berbahaya bagi Gereja?
Teknologi jinak bukan? Salah. Sebagaimana artikel di The New York Times menuliskan: "Profesi tenaga medis punya kode etik: Pertama, jangan menyakiti. Silicon Valley punya etos: Buat terlebih dahulu, minta maaf kemudian." Hasilnya, Harvard University dan M.I.T menawarkan mata kuliah baru tentang etika dan regulasi terhadap kecerdasan buatan (artificial intelligence (AI)). Itu akan segera terlaksana karena potensi bahaya dari teknologi.
Apakah Teknologi Berbahaya bagi Gereja?
Teknologi jinak bukan? Salah. Saat kita membahas AI, hampir semua orang sepakat bahwa tujuan AI bukanlah kecerdasan yang tidak terarah, tetapi kecerdasan yang menguntungkan. Perhatian utamanya bukan pada robotnya, tetapi pada kecerdasan itu sendiri, kecerdasan yang bertujuan menghancurkan. Sebagaimana Max Tegmark, penulis "Life 3.0: Menjadi Manusia pada Zaman Kecerdasan Intelektual", katakan: "kita mungkin membangun teknologi yang cukup kuat untuk mengakhiri bencana (sosial) selamanya, atau untuk mengakhiri peradaban manusia itu sendiri. Kita mungkin dapat menciptakan masyarakat yang berkembang secara luar biasa, di bumi bahkan lebih, atau sebuah keadaan Kafkaesque (istilah untuk menggambarkan situasi yang tidak seharusnya rumit menjadi pengalaman yang menyusahkan dan tidak menyenangkan, dan menjadi perang yang tidak bisa dimenangkan - Red.) pengawasan global yang sangat kuat dan tak akan roboh."
Hal yang inheren dengannya adalah "outsourced morality" (moralitas yang dialihdayakan - Red.). Adakah bahaya dalam teknologi? Ini adalah contoh sederhananya: mobil otomatis yang berhadapan dengan situasi hidup dan mati. Membanting stir menghindari menabrak pejalan kaki atau menyelamatkan nyawa para penumpang. Ia bisa dan akan memutuskan, tetapi atas dasar apa? Seiring kita bertumbuh dalam ketergantungan kita terhadap AI, kita akan semakin mengizinkannya membuat keputusan bagi kita, dan termasuk juga keputusan-keputusan etis. Semakin AI mampu berpikir secara mandiri, semakin sering kita akan menghadapi situasi ketika kita membatasi otonominya.
Itu pun kalau kita mampu.
Progresnya menakutkan:
Langkah 1: Buat AGI (artificial general intelligence), kecerdasan buatan umum, level manusia.
Langkah 2: Pakai AGI ini untuk menciptakan kecerdasan super.
Langkah 3: Pakai atau lepaskan kecerdasan super ini untuk mengambil alih dunia.
Sekali lagi, Tegmark berkata: "Karena kita, manusia, telah berhasil mendominasi makhluk hidup bumi lainnya dengan cara melampaui mereka, sangat masuk akal jika kita bisa dilampaui dan didominasi oleh kecerdasan super."
Teknologi jinak bukan? Salah. CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk, berujar kepada National Governors Assosiation musim gugur lalu bahwa paparannya terhadap teknologi AI menyatakan sikapnya, "risiko fundamental untuk keberlangsungan peradaban manusia." Ahli kosmologi, Stephen Hawking, sepakat, ia berpendapat bahwa AI bisa terbukti menjadi "peristiwa terburuk dalam sejarah peradaban manusia." Akan tetapi, pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, menyebut perkataan tersebut sebagai "tidak bertanggung-jawab."
Tak ayal, hal itu disebut sebagai percakapan paling penting dalam sejarah kita. Apakah hal itu terbukti atau tidak, sudah dipastikan bahwa itu adalah percakapan yang mengandung pemikiran Kristen yang diberitahukan dan dikaitkan berkenaan dengan bahaya teknologi. Dan, memikirkan. (Buku) "Renew: A Missional Movement for the None, Done, and Undone" Bagi siapa pun yang sedang bergelut dengan arti menjadi sebuah gereja, dan bukan hanya pergi ke gereja. Mari kita sambut Harvard dan M.I.T ke dalam pesta. (t/Nikos)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | Church Leaders |
Alamat situs | : | https://churchleaders.com/ministry-tech-leaders/412428-is-there-danger-of-technology-for-the-church.html |
Judul asli artikel | : | Is There Danger of Technology for the Church? |
Penulis artikel | : | James Emery White |