Kita semua pernah mengalaminya: Anda sedang duduk di sebuah ruangan dengan teman dan keluarga, dan tiba-tiba Anda melihat dan mendapati setiap orang di ruangan tersebut sedang melihat ponsel mereka, bukannya saling berbicara.
Pengalaman seperti itu merupakan bagian dari apa yang menginspirasi Craig Groeschel, pendiri dan pendeta senior dari LifeChurch.tv, untuk mulai meneliti keuntungan dan kerugian teknologi, dan bagaimana kita dapat memiliki relasi yang sehat dengan telepon kita.
Kami berbicara dengan Groeschel tentang buku barunya, "Hashtag Struggles: Following Jesus in a Selfie-Centered World" (Hashtag Perjuangan: Mengikuti Yesus dalam Dunia yang Berpusat pada Diri Sendiri), daya tarik teknologi dan pentingnya ketidakberkaitan.
Apa yang membuat Anda ingin menulis buku ini?
Saya menulis buku ini karena pergumulan saya pribadi dengan media sosial dan teknologi. Banyak orang hampir terkejut karena seseorang yang menjadi bagian dari gereja yang benar-benar menyukai dan menggunakan teknologi dengan getol, menulis buku ini. Gereja kami mendapatkan anugerah untuk menciptakan aplikasi YouVersion Alkitab, jadi kami jelas mencintai teknologi, tetapi saya harus mengatakan bahwa saya juga memiliki hubungan antara cinta-benci dengan hal tersebut.
Buku ini benar mengenai bagaimana kami menempatkan teknologi sesuai tempatnya. Kami tidak ingin membuangnya karena teknologi sangat membantu dalam banyak hal. Namun, pada waktu yang sama, saya menolak dikuasai oleh teknologi dan saya ingin membantu orang untuk menemukan kebebasan yang sama.
Saya mulai mempelajari manfaat dari media sosial dan teknologi -- hal-hal tersebut ada di sekitar kita, kita semua mengetahuinya, kita semua menikmatinya. Namun, saya juga mulai mempelajari beberapa konsekuensi negatif dan bagaimana media sosial dan teknologi benar-benar mengubah relasi ke arah yang paling buruk.
Bagaimana teknologi mengubah relasi?
Ini adalah tantangan bagi banyak orang sekarang: Satu-satunya cara yang kita tahu untuk berelasi satu sama lain adalah melalui teknologi. Orang mulai takut dan menghindari komunikasi tanpa filter karena kita sudah menyaring segala hal yang kita tampilkan. Saya hanya memosting apa yang saya inginkan untuk Anda lihat dan gambaran yang saya coba perlihatkan. Sekarang, banyak orang bahkan benar-benar tidak mengetahui bagaimana menampilkan siapa mereka sesungguhnya karena mereka telah membangun gambar diri secara daring (online). Hal ini benar-benar tidak otentik dan menciptakan lebih banyak kesepian. Bahkan, para sosiolog telah menciptakan sebuah ungkapan baru yang disebut "kesepian yang tertunda." Jika saya kesepian pada saat tertentu, saya mungkin memosting foto, dan beberapa menit kemudian saya akan kembali untuk melihat apakah ada yang menyukai atau mengomentari foto tersebut. Hal itu menjadi semacam pemuas dahaga sesaat, tetapi saya sebenarnya sedang menunda kesepian dan kebutuhan yang sebenarnya sesungguhnya tidak benar-benar terpuaskan.
Kita hidup untuk disukai dan kita merindukan cinta. Kita tahu ada sesuatu yang lebih, tetapi kita tidak bisa menunjuk pada hal itu.
Anda membahas tentang "membangkitkan belas kasihan," dan teknologi dapat menurunkan kepekaan. Akankah Anda membicarakan sedikit tentang hal tersebut?
Perasaan saya akan menjadi seperti itu jika kita melihat banyak hal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, kita akan lebih memedulikan mereka. Akan tetapi, penelitian menunjukkan kebalikannya. Universitas Michigan melakukan penelitian besar ini pada 14.000 mahasiswa dan apa yang mereka temukan adalah, dengan munculnya media sosial dan teknologi, sebenarnya ada penurunan yang tajam atas rasa empati dan kasih sayang. Studi menunjukkan bahwa kepedulian kita sebagai masyarakat terhadap orang lain berkurang 40 persen daripada yang kita lakukan pada tahun 1980-an. Hal ini mengejutkan: kepedulian kita berkurang 40 persen!
Studi mendaftarkan 3 teori yang mendasari: Salah satunya adalah bahwa kita lebih terobsesi dengan diri kita sendiri. Ada 93 juta foto selfie diambil sehari. Setiap kali saya memosting sesuatu dan Anda menyukainya, otak saya melepaskan sedikit dopamin (saraf transmiter yang membantu mengontrol pemikiran otak dan pusat kesenangan - Red.); saya berdengung. Ketika saya mendapatkan rangsangan kimia, saya menjadi lebih terobsesi untuk selfie (menonjolkan diri sendiri - Red.s).
Sebuah studi dari Universitas Michigan menunjukkan bahwa sebagai masyarakat kepedulian kita terhadap orang lain berkurang 40 persen daripada yang kita lakukan pada 1980-an. Hal ini mengejutkan: kepedulian kita berkurang sebesar 40 persen!
Teori kedua adalah bahwa ketika kita tidak berinteraksi secara pribadi, maka mudah bagi kita untuk tidak peduli. Jika Anda terluka dan Anda memosting, "Doakan saya" pada Twitter, baiklah, saya akan berdoa untuk Anda. Namun, jika Anda duduk di samping saya dan saya melihat bahasa tubuh dan emosi Anda, saya akan 10 kali lebih peduli -- karena kita bersama-sama di sana.
Kemudian, teori ketiga mengatakan bahwa pemberitaan masalah yang berlebihan sebenarnya menurunkan kepekaan kita. Satu artikel yang saya baca mengatakan bahwa karena semuanya terlihat sama pada ponsel kita, otak kita tidak tahu bagaimana membedakan apa yang lebih penting. Sebagai contoh, pada "feed" (daftar berita terbaru - Red.) Anda mungkin ada resep "guacamole" (semacam salad yang berbahand dasar alpukat yang pertama kali dibuat di Aztec, Meksiko - Red.) di bawah tautan sebuah cerita seorang pemain sepak bola yang memukul pacarnya, yang dipasang di bawah tautan sebuah video kucing yang lucu, yang dipasang di bawah tautan seorang yang sedang membicarakan tentang seorang wartawan yang dipenggal oleh ISIS. Hal-hal itu terlihat sama dalam "feed" Anda, dan otak Anda benar-benar tidak dapat membedakan hal apa yang jauh lebih penting. Oleh karena itu, kita bangun dan tanpa menyadarinya, kita hanya peduli terhadap diri kita sendiri dan kurang peduli terhadap orang lain.
Menurut Anda, bagaimana kita menjaga diri terhadap aspek-aspek negatif dari teknologi?
Kita harus mulai dengan mengidentifikasi dan benar-benar mengakui bahwa hal ini adalah sesuatu yang merupakan masalah riil bagi saya, dan setelah kita melakukannya, saya mendapatkan banyak langkah praktis yang dapat saya sampaikan: bagaimana kita mengaturnya dan bagaimana kita dapat terus membiarkannya menjadi berkat, tetapi mencegahnya menjadi kutukan.
Saya sarankan, jika Anda mendapati diri Anda sedang berada dalam semacam relasi yang disfungsi dengan teknologi, untuk mulai berpuasa teknologi selama 3 hari. Jika Anda harus menggunakan teknologi untuk bekerja, menggunakannya untuk bekerja atau apa pun, hal itu mungkin sesederhana berpuasa 3 hari tidak menggunakan media sosial. Hari pertama itu sulit, hari kedua sedikit canggung, kemudian pada hari ketiga kebanyakan orang mulai mengatakan hal-hal seperti, "Kau tahu, tiba-tiba saja saya mulai terlibat dengan orang-orang", "Saya mulai membaca Alkitab saya", "Saya menulis catatan untuk seseorang" dan "Saya pergi ke rumah teman." Semua tiba-tiba, ketika mereka didetoksifikasi dari kegiatan mengeklik-ngeklik, dan menggulir-gulir secara terus-menerus, mereka kembali terlibat dalam relasi tatap muka.
Dalam beberapa hal, saya mendorong Anda untuk melakukan puasa teknologi selama 7 hari. Saya melakukannya sekitar enam kali tahun ini, dan alasan saya melakukannya karena saya membutuhkannya. Hasilnya, hal ini memaksa saya untuk menyadari bahwa tidak ada seorang pun di luar sana yang bergantung pada hasil postingan saya. Ketika saya memaksa diri untuk melakukan detoksifikasi dari aktivitas daring yang konstan, tiba-tiba saya terlibat dalam suatu hal yang lebih dalam dan bermakna bersama orang-orang di sekitar saya. Dan, setelah 7 hari, saya dapat masuk kembali ke dunia media sosial dengan pikiran saya yang sudah diperbarui.
Identitas saya tidak didasarkan pada berapa banyak orang yang mengikuti saya, atau siapa yang mengikuti saya, atau apa pun itu. Identitas saya tidak didasarkan pada berapa banyak tanda "suka" yang saya dapatkan, pikiran saya seperti diperbarui kembali dan saya kembali ke dalam media sosial dengan pola pikir yang lebih murni. Jika saya terlalu lama berada di dalam dunia media sosial, jujur saya akan terjebak lagi di dalamnya. Jadi, itulah sebabnya sekitar enam kali setahun saya keluar dari dunia media sosial, dan hal ini benar-benar membantu membersihkan jiwa saya dan memberi saya perspektif yang lebih baik tentang apa yang paling penting.
Menurut Anda, bagaimana kita dapat menggunakan teknologi dengan cara yang positif dan untuk dihubungkan dengan orang ketimbang mengisolasikan diri kita sendiri?
Kami begitu senang dengan aplikasi YouVersion Alkitab. Kami benar-benar melihat ribuan orang dan ribuan rencana Alkitab selesai setiap hari -- bukan hanya dimulai, tetapi diselesaikan. Jadi, hal itu menjadi hari yang menyenangkan untuk hidup dan mampu tetap terhubung dengan banyak orang. Namun, kita harus memahami media sosial dan teknologi dapat melengkapi relasi kita, tetapi tidak dapat menggantikannya. (t/N. Risanti)
Diterjemahkan dari:
Nama situs: Relevant Magazine
Alamat URL: http://www.relevantmagazine.com/culture/tech/technology-killing-relationships
Judul asli artikel: Is Technology Killing Relationships?
Penulis artikel: Aaron Cline Hanbury
Tanggal akses: 7 Januari 2016