Apps4God

Submitted by admin on Wed, 09/28/2022 - 07:33

Kita mungkin mencoba membangun kerangka kerja tentang cara menggunakan media sosial dengan membuat studi tentang pola negatif yang harus dihindari. Akan tetapi, Alkitab mengingatkan kita bahwa hikmat dimulai dari tempat yang sangat spesifik: dengan takut akan Tuhan (Mzm. 111:10).

Rasa takut akan Tuhanlah yang hilang dari diri Adam dan Hawa saat mereka dicobai di taman. Ketika ular menyarankan kepada Hawa untuk memakan buah terlarang, ular menjanjikan kepadanya sebuah keuntungan yang sangat aneh: "Kamu akan menjadi seperti Allah" (Kej. 3:5). Menjadi seperti Allah? Bukankah Allah telah membentuk manusia menurut gambar-Nya, menurut rupa-Nya? Jika mereka sudah menjadi refleksi Allah sendiri, keuntungan apa lagi yang bisa diberikan oleh buah itu?

Yang ular tawarkan kepada Adam dan Hawa adalah pengetahuan yang akan membuat mereka tidak lagi mencerminkan Allah, tetapi menyaingi-Nya. Dia menawarkan kepada mereka semacam pengetahuan yang tidak dimaksudkan untuk diketahui oleh makhluk yang terbatas, melainkan hanya oleh Allah sendiri. Mereka tidak diciptakan untuk itu. Pengetahuan itu pasti akan menghancurkan mereka. Namun, keinginan untuk melampaui batas yang diberikan Allah mengalahkan keinginan untuk menyandang gambar-Nya seperti yang seharusnya mereka lakukan. Selanjutnya, seperti kata orang, adalah sejarah.

Ada cara menggunakan media sosial yang mencerminkan Allah. Namun, ada pula cara untuk menggunakan media sosial yang menyaingi Dia. Kebijaksanaan mencari jalan untuk melakukan yang pertama. Akan tetapi, bagaimana media sosial menarik kita ke dalam upaya untuk menyaingi Allah, bukan merefleksikan Allah? Izinkan saya mengajukan tiga kebenaran yang kita tolak ketika kita menggunakan media sosial dengan tidak bijaksana.

1. Kita dapat berubah; Allah tidak.

Pertimbangkan betapa berbedanya kita dengan Allah dalam hal sifat keberubahan kita. Allah tidak berubah. Dia tidak dapat dipengaruhi. Dia tidak pernah membaca unggahan media sosial lalu mengubah apa yang Dia pikirkan atau bagaimana Dia bertindak. Dia tidak pernah mendekorasi ulang atau mengubah selera modenya. Sang Batu Karang Zaman akan tetap sama. Selamanya. Dia melampaui perubahan zaman kita, mengaturnya dengan tangan yang kukuh dengan peraturannya yang tidak pernah berubah.

Pada sisi lain, kita sangat rentan terhadap pengaruh dan dapat dipengaruhi. Renungkan kehidupan sehari-hari Anda selama satu menit. Bagaimana media sosial memengaruhinya? Hal apa saja yang Anda lihat di media sosial yang membentuk segala sesuatu yang berada di dapur Anda, lemari obat Anda, rutinitas olahraga Anda, lemari pakaian Anda, atau dekorasi rumah Anda? Sekarang, renungkan tentang kehidupan berpikir Anda. Peristiwa atau diskusi iman apa yang telah dibentuk oleh sesuatu yang Anda lihat di media sosial? Kita tidak bisa menolak untuk tidak dibentuk oleh apa yang kita lihat.

Media sosial menempa manusia yang mudah berubah ini menjadi sebuah gambar. Cara orang Kristen menggunakan media sosial menentukan apakah media itu menjadikan kita pribadi yang lebih baik atau justru menjadi pribadi yang cacat. Ke mana kita mengarahkan pandangan kita, dan untuk berapa lama, tidak hanya memengaruhi bagaimana kita hidup, tetapi juga jati diri kita. Kita tidak berani mengatakan pada diri sendiri bahwa kita tidak terpengaruh oleh apa yang kita perhatikan. Sebaliknya, kita harus menjaga agar natur peniru kita ini menghasilkan buah kebenaran.

2. Kita terikat oleh waktu; Allah tidak.

Membuang-buang waktu selalu menjadi godaan bagi manusia, dan hal itu selalu membuat kita ketagihan. Keinginan untuk kehilangan kesadaran akan berlalunya waktu adalah bukti bahwa kita ingin menjadi seperti Allah dengan cara yang tidak sehat. Secara tidak sadar, kita mendambakan kekekalan-Nya. Kita mengatakan kepada diri sendiri bahwa ada banyak waktu dan kita dapat menghabiskannya tanpa berpikir.

Akan tetapi, hanya Allah yang mampu berada di luar batas waktu. Hanya Allah yang dapat melaksanakan tugas-Nya tanpa tunduk pada tirani waktu. Dia tidak perlu mengatur pengingat atau alarm, dan Dia bertindak pada waktu yang tepat sepanjang waktu, tanpa menjadi lupa atau menjadi malas. Dia menciptakan kita untuk hidup menurut garis waktu dan menghitung hari-hari kita dengan tepat sehingga kita dapat menggunakannya dengan bijak (Mzm. 90:12).

Bagi manusia yang terikat waktu, semua waktu yang dihabiskan pada media sosial adalah waktu yang tidak akan dihabiskan di tempat lain. Kita tidak berani mengatakan pada diri sendiri bahwa kita mampu menggunakan media sosial tanpa batas atau tanpa anggaran, bahkan jika kita menggunakannya dengan cara yang menguntungkan. Kita juga tidak berani mengabaikan sifat adiktifnya. Seperti semua hal yang menjanjikan kita untuk bisa menjadi seperti Allah, godaannya akan begitu kuat. Mereka yang berpikir dengan bijaksana tentang penggunaan media sosial akan menambatkan diri mereka kepada pilar hikmat ilahi sehingga waktu mereka yang terbatas digunakan dengan baik.

3. Kita memiliki tubuh; Allah tidak.

Allah adalah Roh, dan karena hal ini benar, Dia bisa hadir di mana-mana. Implikasi dari kebenaran ini banyak, tetapi tujuan diskusi kita sekarang ini adalah untuk pertimbangkan signifikansi relasional dari kemahahadiran Allah. Dia mampu menciptakan dan mempertahankan hubungan pribadi yang tidak terbatas dengan orang lain. Namun, apa yang secara relasional mungkin bagi Allah, secara relasional mustahil bagi cerminan gambar-Nya.

Keinginan untuk kehilangan kesadaran akan berlalunya waktu adalah bukti bahwa kita ingin menjadi seperti Allah dengan cara yang tidak sehat. Secara tidak sadar, kita mendambakan kekekalan-Nya.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Ketika Allah menciptakan kita, Dia menyatukan roh kita dengan tubuh fisik. Tubuh adalah seperangkat batas. Itulah alasan mengapa kita hanya bisa berada di satu tempat pada satu waktu. Karena kita tidak ada di mana-mana, kita hanya dapat menciptakan dan mempertahankan sejumlah hubungan yang terbatas. Kita mengetahui hal ini secara intuitif. Itu sebabnya, kita memprioritaskan waktu dengan beberapa orang tertentu. Kita mengategorikan orang di sekitar kita menurut kedalaman hubungan kita dengan mereka: keluarga, teman, kenalan. Kita berbicara tentang keseimbangan kehidupan kerja sebagai sarana untuk memastikan bahwa kita hadir secara fisik dengan orang-orang yang paling dekat dengan kita, dan mengakui bahwa kita dapat hadir di tempat kerja atau hadir di rumah, tetapi tidak keduanya sekaligus.

Media sosial memberi kita perasaan bahwa kita tidak terbatas pada satu tempat dan pada satu waktu. Hal ini menunjukkan bahwa kita, seperti Allah, dapat menciptakan dan mempertahankan jumlah hubungan yang hampir tidak terbatas. Jika kita gagal mengenali bahwa seorang teman di Facebook tidak sama nilainya dengan seorang teman yang kerap kita temui secara langsung, kita akan mengalokasikan kedekatan yang berharga dengan layar gawai alih-alih dengan manusia nyata yang ada di hadapan kita.

Membentuk Kembali Kebiasaan Kita

Jika kita ingin menjadi bijak dalam menggunakan media sosial, dan jika takut akan Tuhan benar-benar merupakan awal dari kebijaksanaan, kita akan mulai membentuk kembali kebiasaan kita dengan mengingatkan diri sendiri bahwa hanya Allahlah yang tidak berubah, kekal, dan ada di mana-mana -- dan dengan mengingatkan diri kita bahwa kita tidak demikian.

Dengan begitu, dilema sosial kita yang pertama dan paling vital terselesaikan: bahwa kita dapat merefleksikan Allah, tetapi tidak dapat menjadi pesaing-Nya. Dengan memegang teguh identitas kita sebagai pembawa rupa Allah, kita bebas untuk mengambil bagian dari media sosial dengan cara yang tidak mendefinisikan siapa kita atau mengapa kita ada di sini. Kita diciptakan menurut gambar Allah untuk kemuliaan-Nya. (t/Yudo)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Gospel Coalition
Alamat situs : https://thegospelcoalition.org/article/social-media-rival-god
Judul asli artikel : How Social Media Use Can Rival God
Penulis artikel : Jen Wilkin