Apps4God

Submitted by admin on Thu, 08/25/2022 - 13:25

Video ini membuat saya terharu. Seorang ayah berkebangsaan Ukraina menangis saat istri dan anak perempuannya naik bus untuk melarikan diri dari negara tersebut. Tangan anak perempuannya merentang ke arahnya dalam permohonan diam agar dia ikut pergi bersama keluarganya. Mata istrinya sembab dan merah dengan air mata yang sudah habis.

Masalahnya hanya satu.

Itu sebenarnya bukan seorang tentara Ukraina. Itu adalah tentara Rusia. Agen berita yang membagikan kisah tersebut salah. Kemungkinan mereka menemukan kisah tersebut di Twitter.

Berbicara tentang Twitter, sehari sebelum saya melihat foto tersebut, teman saya mengirimkan tangkapan layar berisi cuitan dari Matt Walsh saat dia mengklaim bahwa sebagian besar orang Amerika (termasuk dirinya sendiri) mengalami keinginan pedofil. Saya sangat terkejut sehingga saya mengunjungi laman profil Twitternya untuk mendapatkan lebih banyak konteks.

Tentu saja, cuitan tersebut telah menjadi viral dan Matt sedang menanggapi hal tersebut. Namun, itu tidak dikarenakan pernyataan itu benar. Dia sedang memberikan tanggapan karena gambar tersebut adalah gambar yang direkayasa secara digital dengan bantuan perangkat lunak penyunting foto.

Dua hari sebelumnya, Elon Musk menambahkan saya ke dalam daftar Twitternya yang berjudul "NFT & Crypto". Dia menawarkan untuk mengikutkan saya dalam suatu kontes untuk memenangkan 15.000 Bitcoin. Untuk berpartisipasi, saya hanya perlu mengirimkan cuitan kepadanya dan lima orang lainnya dalam daftar. Selama sehari berikutnya, feed Twitter saya dipenuhi dengan unggahan dari orang-orang lain dalam daftar yang mencuit saya dan Elon.

Sayangnya, tidak seorang pun dari mereka yang memenangkan apa pun. Itu adalah akun Twitter palsu. Tautan untuk hadiah itu adalah penipuan phishing (serangan yang dilakukan untuk menipu atau memancing korban agar mau mengklik tautan serta menginput informasi kredential seperti username dan password - Red.).

Dalam satu minggu, saya menghindar secara tipis dari satu kasus misinformasi dan dua kasus disinformasi. Namun, alih-alih merasa bangga, saya bertanya kepada diri saya sendiri, "Berapa banyak kepalsuan yang berhasil lolos melewati radar saya?" Kemungkinan lebih dari sekadar beberapa.

Perintah Allah yang kesembilan -- jangan mengucapkan kesaksian dusta -- sedang ditumpas habis oleh media sosial (Kel. 20:16). Di mana ketidakbenaran berakar, di situ kepercayaan sosial merosot. Teman-teman mulai meragukan sesama teman-teman mereka karena kita makin sepakat, "Saya tidak lagi dapat membedakan mana yang benar."

Yesus memperingatkan para pengikut-Nya, "Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala. Karena itu, jadilah cerdik seperti ular dan tulus seperti burung-burung merpati" (Mat. 10:16). Di tengah era internet sosial, hal ini berarti menolak godaan sinisme sembari bertumbuh makin bijak terhadap bagaimana kepalsuan menyebar. Sekarang ini, terdapat dua jenis kepalsuan yang berkembang pesat di media sosial: misinformasi dan disinformasi. Memahami keduanya merupakan langkah pertama menuju daya tahan untuk melawannya.

Memahami Misinformasi

Misinformasi menjelma dalam dua bentuk: (1) kepalsuan tidak disengaja yang dibagikan tanpa niatan buruk dan (2) kepalsuan yang diciptakan dengan mendekontekstualisasi peristiwa yang benar-benar terjadi atau membingkainya ulang dengan niatan untuk menipu.

Misinformasi yang tidak disengaja: Sering kali, kebohongan yang tidak disengaja mencakup kisah-kisah yang mengharukan, seperti rekayasa transkrip panggilan telepon Todd Beamer dari Penerbangan 93 pada peristiwa 9/11. "Transkrip" tersebut jelas mengharukan, dan tidaklah mengejutkan saat tangkapan layar dari perbincangan yang direkonstruksi ini menjadi viral di Twitter Kristen pada September lalu. Jumlah cuitan ulangnya saja meyakinkan sebagian besar orang (termasuk saya) bahwa itu autentik.

Jika itu tidak benar, mengapa itu menjadi viral?

Setiap algoritma media sosial dirancang untuk mencari unggahan yang sukses (mis. unggahan yang menarik interaksi, seperti komentar, like, atau share), lalu meletakkannya di depan sebanyak mungkin orang. Ini menjaga agar pengguna bertahan lebih lama dalam platform tersebut, yang berarti lebih banyak pemasukan dari iklan. Unggahan-unggahan yang mencekam secara emosional itu bagus untuk bisnis. Siapa yang peduli apakah mereka benar atau tidak?

Misinformasi yang didekontekstualisasi: Situs berita partisan dan para pemengaruh sering kali melepaskan konteks dari suatu kutipan atau klip video guna mencocokkannya dengan narasi mereka. Hal ini memicu kemarahan, yang mendorong interaksi dan mengarahkan algoritma untuk menyorotinya. Kita semua suka mengasumsikan yang terburuk tentang musuh kita, jadi hanya segelintir orang yang benar-benar mencari untuk menyelidiki konteks lebih luas yang masuk akal dari kisah atau kutipan yang seolah-olah keterlaluan tersebut.

Memahami Disinformasi

Disinformasi merupakan kisah, foto, infografik, atau kutipan palsu yang direkayasa oleh agen-agen jahat dengan tujuan untuk memicu perpecahan, ketidakpercayaan, dan kebencian. China, Iran, dan Rusia telah membuktikan diri mahir dalam hal memanipulasi algoritma media sosial untuk menyebarkan disinformasi viral dalam upaya untuk membuat rusuh masyarakat Amerika.

Ada banyak contoh kisah buatan luar negeri: ISIS menyebabkan ledakan kimia di Louisiana, kebocoran fosfor yang mematikan di Ohio, jet tempur Ukraina menembak jatuh penerbangan komersial, orang Alaska mengadakan petisi (permohonan resmi kepada pemerintah - Red.) untuk memisahkan diri dari perserikatan, dan Ratu Elizabeth II memperingatkan tentang serangan Perang Dunia III yang akan datang segera pada 2017.

Kebanyakan orang Amerika tidak sadar terhadap kampanye disinformasi digital hingga pemilu 2016, saat agen-agen Rusia mengunggah sejumlah besar kisah palsu tentang kedua kandidat, yang kedua pihak terlalu bersedia untuk memercayainya.

Pedoman disinformasi mereka -- yang disebut tindakan aktif -- sudah dikembangkan dengan baik oleh KGB sebelum masa internet. Dalam suatu seri dokumenter bermutu, New York Times menguraikan program tujuh langkah dari KGB untuk menanamkan disinformasi:

1. Temukan keretakan: Cari tahu di mana suatu masyarakat paling terpecah dan agresif supaya Anda dapat memecahkan mereka.

2. Kebohongan besar: Ciptakan kebohongan yang begitu besar sehingga sulit untuk memercayai bahwa itu dibuat-buat.

3. Biji kebenaran: Konstruksikan kebohongan tersebut berdasarkan secuil kebenaran untuk meminjamkan kredibilitas.

4. Tutupi tangan Anda: Pastikan kebohongan tersebut tidak mudah dilacak balik ke sumbernya di luar negeri.

5. Orang bodoh yang berguna: Temukan orang-orang yang sifat permusuhannya menjadikan mereka target mudah untuk kebohongan tersebut. Gunakan mereka sebagai keledai untuk menyebarkannya.

6. Sangkal segala hal: Apa pun buktinya, sangkal keterlibatan apa pun dalam perekayasaan kebohongan tersebut.

7. Permainan panjang: Hanya beberapa benih yang akan berakar dalam jangka waktu yang lama. Jadi, tebarlah sebanyak mungkin, lalu pelihara benih-benih yang menjanjikan.

Sinisme "saya tidak dapat memercayai apa pun" bukanlah jawaban untuk melimpahnya ketidakbenaran saat kita daring. Sebaliknya, kita harus mengasihi kebenaran dengan mencarinya.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Beginilah persisnya peristiwa Pizzagate terjadi. Orang Rusia meretas email-email John Pedesta, lalu menyebarkannya melalui WikiLeaks. Ini memungkinkan mereka untuk menutupi tangan mereka, kemudian menyangkal keterlibatan mereka pada kemudian hari. Beberapa bulan kemudian, pihak anonim di 4chan mulai terobsesi dengan email antara Podesta dan Cosmo Pizza. Email-email itu merupakan biji kebenarannya. Kebohongan besarnya adalah bahwa email-email tersebut mengandung pesan berkode yang mengungkapkan bahwa para pendukung Clinton menjalankan lingkaran perdagangan seks anak rahasia melalui restoran tersebut. Orang-orang bodoh yang berguna memercayai kebohongan tersebut, lalu menyebarkannya ke platform-platform media sosial arus utama. Beberapa bulan kemudian, seorang Kristen bersenjata api datang ke Cosmo Pizza untuk membebaskan anak-anak dari ruang bawah tanah yang tidak pernah ada.

Nah! Perselisihan dan ketidakpercayaan pun berhasil ditabur. Kemudian, rumor tentang lingkaran perdagangan seks yang dijalankan oleh Clinton terus berlanjut sampai sekarang.

6 Prinsip untuk Melawan Disinformasi dan Misinformasi

Memahami cara kerja misinformasi dan disinformasi merupakan langkah pertama untuk mempertahankan diri melawan kepalsuan. Berikut ini enam prinsip tambahan untuk dapat bijak menghindari kepalsuan saat daring.

1. Konfirmasi lagi berita utama yang sensasional. Jika suatu cerita atau kutipan kedengaran aneh, kemungkinan itu memang benar. Karena kita rentan percaya terhadap berita-berita utama yang menjelekkan musuh kita, tunjukkan perhatian lebih saat Anda membaca tentang pembongkaran terhadap orang-orang yang cenderung tidak Anda sukai. algoritma tahu apa yang Anda benci, dan ia senang menyalakan rasa marah Anda jika itu dapat menjaga Anda tetap berada dalam platform itu sedikit lebih lama.

2. Periksa sumbernya sebelum Anda mengeklik, mengomentari, membagikan, atau menyukainya. Saat Anda berinteraksi dengan suatu unggahan, Anda sedang berkata kepada algoritma, "Beri saya lebih banyak yang seperti ini." Lindungi diri Anda dengan melihat sumber dari bahan tersebut sebelum mengeklik. Biasanya, situs web sumbernya akan terlihat di bawah gambar. Jika sumber itu bukanlah institusi yang cukup dikenal dan bereputasi bagus, lakukan pencarian di Google sebelum berinteraksi dengannya. Ini akan melindungi feed Anda ke depannya dari kepalsuan yang dikumpulkan oleh algoritma.

3. Melihat tidak sama dengan memercayai. Foto bisa direkayasa. Video bisa diambil keluar dari konteksnya. Deepfakes (video seseorang, tetapi wajah atau badannya direkayasa secara digital agar kelihatan seperti orang lain, biasanya digunakan dengan niatan jahat atau untuk menyebarkan informasi palsu - Red.) itu benar-benar ada. Dengan memasukkan suatu foto ke Google Images, sering kali Anda akan dapat menemukan sumber dan konteks aslinya. Dengan mencari suatu pidato lewat YouTube, Anda dapat menemukan konteks asli dari suatu kutipan.

4. Jangan memercayai sesuatu hanya karena seorang Kristen mengatakannya. Sayangnya, orang Kristen merupakan salah satu dari tiga kelompok di Amerika Serikat yang secara aktif dijadikan target oleh kuasa luar negeri dengan misinformasi. Menurut MIT Technology Review, 19 dari 20 laman Facebook Kristen teratas dijalankan oleh ladang troll asing. Strategi mereka -- unggah konten yang 95 persen Kristen yang dicuri dari laman lain, lalu selipkan 5 persen ketidakwarasan -- sangat efektif untuk menjadikan orang Kristen sebagai "orang bodoh yang berguna" untuk menyebarkan disinformasi.

5. Baca lebih banyak dari sekadar judul berita utama. Orang-orang pemasaran sangat menyukai umpan klik. Mereka meletakkan hal-hal yang setengah benar ke dalam judul berita utama agar Anda tergiur untuk mengkliknya. Namun, banyak orang tidak mengklik, melainkan berasumsi bahwa berita utama itu sepenuhnya benar. Bahkan, judul berita utama yang jujur pun jarang merangkum keseluruhan cerita. Pastikan Anda membaca seluruh ceritanya.

6. Akuilah saat Anda salah. Teman saya, Michael Graham, membagikan "transkrip" Penerbangan 93 yang saya singgung sebelumnya. Setelah itu, dia melakukan hal mengejutkan: dia mengirimkan pengakuan bahwa dia melakukan kesalahan. Kebanyakan orang tidak memiliki kejujuran atau keberanian untuk melakukan hal ini. Namun, saat kita melakukannya, kita sedang menunjukkan bahwa kita lebih peduli dengan kebenaran daripada reputasi kita. Ini memberikan kredibilitas untuk klaim-klaim kita tentang Yesus.

Sinisme "saya tidak dapat memercayai apa pun" bukanlah jawaban untuk melimpahnya ketidakbenaran saat kita daring. Sebaliknya, kita harus mengasihi kebenaran dengan mencarinya. Orang Kristen seharusnya dikenal sebagai orang-orang yang berusaha memahami konteks di muka dekontekstualisasi, sebagai orang-orang yang berusaha mencari kebenaran di hadapan disinformasi. (t/Odysius)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Gospel Coalition
Alamat situs : https://thegospelcoalition.org/article/avoid-misinformation-disinformation-online
Judul asli artikel : How to Avoid Misinformation and Disinformation Online
Penulis artikel : Patrick Miller