Saya sering ditanya tentang isu-isu pengembangan termutakhir apa saja yang ada saat ini yang membutuhkan pertimbangan serius; suatu kecenderungan yang sedang muncul yang akan menantang iman Kristen dan gereja.
Dewasa ini, saya akan menjawab dengan segera: artificial intelligence (kecerdasan buatan), diikuti dengan berbagai terobosan dalam hal-hal yang dapat kita lakukan untuk memodifikasi keturunan manusia secara genetik.
Mari kita lewatkan sejenak mengenai genetika untuk dibahas pada postingan mendatang. Sekarang, mari membicarakan tentang AI. Secara khusus, kita akan membahas tentang apa yang perlu mulai kita pikirkan. Terdapat dua area dasar untuk dipikirkan.
Pertama, kita harus memikirkan tentang definisi kita terhadap kehidupan itu sendiri. Ya, sebagai orang Kristen, kita merasa bahwa kita memiliki pemikiran yang baik tentang hal ini. Yang tidak kita miliki adalah kemampuan untuk berbicara mengenai definisi kita terhadap kehidupan dengan cara AI menyebut seluruh definisi tersebut ke dalam pertanyaan.
Dalam bukunya, Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial Intelligence, seorang profesor dari MIT, Max Tegmark, mengelompokkan bentuk kehidupan ke dalam tiga tingkat kecanggihan: Life 1.0, 2.0, dan 3.0. Dengan menggunakan istilah “perangkat keras” untuk menyatakan substansi kebendaan dan “perangkat lunak” untuk menyatakan informasi, Max Tegmark menganggap Life 1.0 sebagai “kehidupan ketika perangkat keras dan perangkat lunaknya berevolusi daripada dirancang.” Manusia tergolong ke dalam Life 2.0, “kehidupan yang perangkat kerasnya berevolusi, tetapi perangkat lunaknya sebagian besar dirancang.”
Life 3.0 adalah kehidupan yang “dapat merancang tidak hanya perangkat lunaknya, tetapi juga perangkat kerasnya. Dengan kata lain, Life 3.0 mampu menentukan takdirnya sendiri, yang pada akhirnya bebas dari belenggu evolusinya.” Jadi, jika bakteri tergolong Life 1.0 dan manusia tergolong Life 2.0, apa itu Life 3.0?
Artificial Intelligence. Atau, secara lebih spesifik, Artificial General Intelligence (kecerdasan umum buatan). Bentuk AI yang belum sempurna telah bersama-sama dengan kita dalam banyak hal, mulai dari program pengenal wajah pada Apple iPhone X sampai asisten digital, seperti Siri, Alexa, dan Cortana. Hal yang dikehendaki adalah AGI, yaitu AI yang mendekati atau bahkan melampaui tingkat kecerdasan manusia, mampu menyelesaikan hampir tujuan apa pun, termasuk pembelajaran.
Jadi, secara singkat, Life 1.0 bersifat biologis, Life 2.0 bersifat kebudayaan, dan Life 3.0 bersifat teknologi. Bagaimana pandangan bahwa manusia yang diciptakan dalam citra Allah berinteraksi dengan hal ini? Bagaimana kita akan mendefinisikan hidup dalam pandangan AGI? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi pertanyaan-pertanyaan yang akan dipaksakan oleh teknologi untuk menjadi pergumulan kita.
Area utama kedua untuk direnungkan adalah tujuan AI itu sendiri. Hampir semua orang setuju bahwa yang menjadi tujuan seharusnya bukan kecerdasan yang tidak terarah, melainkan kecerdasan yang bermanfaat. Yang menjadi perhatian utama bukanlah robot, melainkan pada kecerdasan itu sendiri -- kecerdasan yang tujuannya bersifat merusak. Seperti yang diungkapkan oleh Tegmark, “mungkin kita membangun teknologi yang cukup kuat hingga mampu mengakhiri bencana (sosial) secara permanen -- atau mengakhiri umat manusia itu sendiri. Kita mungkin menciptakan masyarakat yang berkembang yang tidak pernah ada sebelumnya, di bumi dan mungkin di luar, atau sebuah keadaan pengawasan global yang begitu kuat sehingga tidak akan pernah bisa digulingkan.”
Sesuatu yang melekat dalam hal ini adalah moralitas yang dialihdayakan. Berikut ini adalah contohnya: mobil yang mengemudi sendiri menghadapi situasi hidup dan mati. Menghindari tabrakan dengan pejalan kaki, atau menyelamatkan penumpang dalam mobil tersebut. AI mampu dan akan mengambil keputusan, tetapi apa dasarnya? Semakin kita bertumbuh dalam ketergantungan kita pada AI, kita akan semakin memperbolehkan AI membuat keputusan bagi kita, dan keputusan itu mencakup hal-hal yang berkenaan dengan etika. Selain itu, semakin AI mampu berpikir secara mandiri, semakin kita harus membatasi kemandiriannya.
Itu pun seandainya kita mampu melakukannya.
Perkembangannya menakutkan:
- Langkah 1: Membuat AGI yang setingkat manusia.
- Langkah 2: Menggunakan AGI tersebut untuk menciptakan kecerdasan super.
- Langkah 3: Menggunakan atau melepaskan kecerdasan super tersebut untuk mengambil alih dunia.
Sekali lagi, Tegmark berpendapat: “Karena manusia berhasil mendominasi bentuk kehidupan lainnya di bumi dengan mengakalinya, sangat beralasan jika ada kemungkinan bahwa kita akan diakali dan didominasi oleh kecerdasan super dengan cara yang sama.”
CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk, berbicara pada National Governors Association pada musim gugur lalu bahwa pemaparannya terhadap teknologi AI adalah “risiko mendasar bagi keberadaan peradaban manusia.” Kosmologi Stephen Hawking setuju, dengan mengatakan bahwa AI bisa saja menjadi “kejadian terburuk dalam sejarah peradaban.” Namun, pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, menyatakan bahwa pendapat semacam itu “tidak bertanggung jawab.”
Tak heran jika AI telah menjadi perbincangan penting bagi kita saat ini. Entah terbukti atau tidak, tentunya AI merupakan topik perbicangan yang membutuhkan pemikir-pemikir Kristen yang berwawasan luas dan sangat terlibat.
Mulailah berpikir. (t/Donny)
Sumber:
- Max Tegmark, Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial Intelligence (Knopf, 2017).
- Marco della Cava, Elon Musk Says AI Could Doom Human Civilization. Zuckerberg disagrees. Who’s right?, USA Today, 2 Januari 2018, dalam: https://www.usatoday.com/story/tech/news/2018/01/02/artificial-intelligence-end-world-overblown-fears/985813001/.
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | Crosswalk.com |
URL | : | https://www.crosswalk.com/blogs/dr-james-emery-white/start-thinking-about-ai.html |
Judul asli artikel | : | Start Thinking About AI |
Penulis artikel | : | James Emery White |
Tanggal akses | : | 5 Maret 2018 |