Secara umum wahyu kita kenal dalam dua bentuk, wahyu umum dan wahyu khusus. Di dalam buku yang berjudul Verbum Dei, Gary Crampton mengatakan bahwa wahyu umum menyatakan Allah adalah Sang Pencipta dan wahyu khusus menyatakan Allah adalah Sang Penebus. Menurutnya, kedua wahyu Allah harus dibaca di dalam kacamata Allah Tritunggal, karena melalui Tritunggal-lah seluruh kebenaran dipaparkan. Kedua wahyu tersebut juga adalah wahyu yang satu/utuh adanya karena berasal dari Tuhan yang satu, namun terimplikasi di dalam kedua fungsi yang berbeda. Selain keutuhannya, kedua wahyu tersebut kita pelajari dengan mengeksplorasi keluasannya. Demikianlah keluasan dan keutuhan kedua wahyu tersebut merupakan dua hal yang satu juga. Di dalam keluasan wahyu terdapat keutuhan wahyu. Di dalam keutuhan wahyu, kita juga bisa melihat keluasan wahyu di dalam aplikasi. Kecenderungan kita adalah menitikberatkan kepada wahyu yang satu dan membuang wahyu lainnya. Inilah salah satu bentuk penindasan manusia terhadap wahyu dalam mengerti wahyu Allah setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa.
Agar dapat dimengerti lebih jelas, mari kita melanjutkan pembahasan kita dengan memakai contoh yang sangat dekat dengan pemuda, yaitu game dan menonton (lagi-lagi game?? TENTU! Mari kita bermain game)!! Ketika kita bertemu dengan istilah game, maka akan timbul beberapa perselisihan pendapat. Atau ketika pertanyaan “Boleh ga sih kita maen game?” dilontarkan, sadarkah kita bahwa kita sedang memikirkan boleh atau tidak bolehnya sesuatu? Artinya kita sudah mempresuposisikan sesuatu itu memang ada, hanya saja apakah kita sebagai orang Kristen boleh atau tidak boleh ikut menikmatinya. Hal demikian sudah salah. Kita seharusnya bukan membicarakan boleh atau tidak bolehnya, melainkan memulainya dengan melihat prinsip besar di balik itu. Kecenderungan orang-orang, khususnya para pemuda, pada saat ini menjalankan hidupnya bukan dimulai dari menggumulkan dan belajar menghidupi prinsip, tetapi hanya sekadar menjalankan apa yang disenanginya saat itu. Demikian juga dalam masalah game dan menonton, kita sering tidak lagi bertanya apa yang dikatakan prinsip firman Tuhan tentang game dan menonton. Kita ikut bermain game dan menonton, baru setelah itu mencoba merasionalisasikan apa yang telah kita kerjakan. Inilah kesalahan yang terus terjadi dalam kehidupan kita yang seharusnya menjadi garam dan terang dunia.
Jika dipikirkan lebih jauh, game menawarkan sebuah solusi yang tidak wajar kepada manusia. Game memberikan kepada manusia sebuah pengalaman hidup yang sangat direduksi sekaligus dibungkus dengan teknologi terbaru, dan untuk mendapatkan pengalaman ini kita sering kali harus menukarnya dengan waktu kita secara membabi buta. Teknologi yang ada cenderung membuat kita terjebak hanya melihat di dalam “solusi menjawab kemalasan”, “mengisi waktu luang”, dan memperbanyak pengetahuan akan hal yang sebenarnya tidak perlu diketahui.
Apa yang benar-benar perlu kita ketahui? Realitas apa yang benar-benar perlu kita alami? Bukankah Allah adalah Realitas Ultimat dan satu-satunya yang perlu dan bahkan harus kita ketahui dan alami? Realitas inilah yang menentukan dan akan menuntun kita kepada apa yang seharusnya kita capai. Tetapi di dalam keberdosaan kita, kita membuang Realitas ini dan mencoba untuk membuat sebuah realitas baru bagi hidup kita, yaitu realitas yang bersifat semu atau virtual reality. Coba pikirkan sejenak… Kenapa orang zaman sekarang ini bisa menikah dengan karakter anime? Jikalau mau jujur, penyebabnya adalah kejatuhan manusia, suatu kondisi di mana manusia membuang realitas yang sesungguhnya yang harus dilihat, digumulkan, dan diperjuangkan, yaitu realitas kita sebagai orang Kristen – umat Allah Sang Realitas Ultimat!
Tanda hidup kita di dalam realitas yang sesungguhnya adalah ketika kita percaya (mempresuposisikan) bahwa Tuhan adalah Pencipta, dan Alkitab adalah Firman Allah (bukan mengandung maupun menjadi, karena kita harus selalu melihat hal ini di dalam pola Theosentris). Dengan demikian, realitas hidup kita merupakan realitas yang tunduk kepada kedaulatan Allah (sovereignty of God), Sang Realitas Ultimat, dan bukan realitas yang di mana kita berusaha membuang Allah dan menegakkan rezim otonomi manusia yang sebenarnya semu adanya.
Realitas semu memiliki sifat yang terkesan real karena kita tetap bisa melihat dan merasakannya, namun sebenarnya tidak memiliki dasar baik di dalam keberadaan diri kita maupun di dalam keseluruhan keberadaan. Virtual reality atau realitas semu bukan hanya mencakup wilayah bermain, menonton, dan menikmati, namun virtual reality hadir ketika pendefinisian diri dan setiap apa yang menjadi keseharian kita tidak seturut dengan apa yang Allah inginkan.
Melanjutkan contoh di atas, sebenarnya apa sih yang ditawarkan oleh game sehingga sangat menarik bagi banyak orang, khususnya remaja-pemuda? Game menawarkan suatu sensasi identitas baru di dalam virtual reality/realitas semu. Identitas yang dicari manusia di dalam kejatuhannya. Di dalam realitas semu seakan-akan manusia menemukan kembali identitas diri, jati diri yang seharusnya kita miliki, tetapi justru di dalam realitas semu itulah identitas kita dalam kejatuhan dibuang dan diganti dengan identitas semu juga. Kita sering membayangkan dan bahkan membuat diri kita menjadi seperti apa yang ada di dalam game. Hidup kita tidak lagi diidentifikasikan dengan apa yang didefinisikan Allah, dengan demikian kita tidak lagi menjadikan Allah sebagai Pendefinisi Ultimat – Sang Creator. Waktu zaman saya SD, hampir seluruh teman saya (termasuk saya sendiri) mendefinisikan diri kami masing-masing dengan Pokemon kesukaan kami (sambil meniru suara-suaranya dan melakukan jurus-jurus yang khas dari Pokemon tersebut). Kami bangga dengan identitas “baru” kami dan melupakan diri kami yang adalah manusia, the image of God. Seluruh fokus keberadaan kami adalah kepada Pokemon kesukaan kami yang kami tiru/image-kan. Inilah yang dimaksud dengan pendangkalan dan perusakan jati diri. Pendangkalan jati diri muncul akibat dari pengenalan akan Allah yang dangkal. Wahyu Allah – penyataan Diri Allah untuk dikenal manusia – menjadi keharusan yang absolut dalam pengenalan diri seorang manusia agar tidak terjebak masuk ke dalam virtual reality.
Virtual reality bukan hanya hadir dalam hal jati diri, tetapi juga dalam spiritualitas yang mengakibatkan pendangkalan pemikiran manusia. Manusia tidak menjadi kritis karena termakan gaya hidup “melihat”, bukan lagi menganalisis dan membaca hidup berdasarkan kebenaran. Ketika jati diri, hidup, dan pikiran manusia sudah rusak, maka secara sadar maupun tidak sadar kita pun sedang merusak spiritualitas kita. Ibadah yang sejati kita buang dan menggantikannya dengan ibadah yang memuakkan Tuhan, yaitu bermain game, membuang waktu yang diberikan Tuhan sampai lupa Tuhan. Spiritualitas semacam inilah yang sangat rusak. Agustinus berkata bahwa manusia diciptakan hanya untuk menggenapi rencana Allah. Luther mengatakan hidup kita adalah hidup yang “Here I stand”, atau “Coram Deo”. Calvin mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengenal diri tanpa adanya pengenalan akan Allah. Van Til mengatakan bahwa hidup ini merupakan hidup yang mewahyukan Allah. Lalu di manakah reformasi di dalam hidup kita ketika kita tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah? Tanpa memiliki kemampuan “membedakan mana yang benar maupun yang salah”, manusia tidak dapat menggenapkan rencana Allah secara sadar, tidak akan merespons Allah dalam setiap aspek kehidupan, tidak mungkin mengejar kehendak Allah, dan akhirnya hidup kita ini hanya merupakan “revelation of the wrath of God”.
Demikian juga, ketika virtual reality membuat kita tidak lagi sadar akan rencana Allah, kehendak Allah, dan hidup yang mewahyukan Allah, maka kita tidak tahu lagi hidup kita ini harus dibawa ke mana dan mengakibatkan daya juang kita mengalami degradasi. Kita dilatih untuk mendapat “solusi” pintas, dilatih untuk bisa tetap bangkit hidup kembali pada saat game over/mati hanya melalui “Press any key to continue”. Kita merasa diri sudah bisa melampaui kemampuan diri, melampaui keterbatasan diri, bahkan melampaui kematian. Inilah hiper-realitas yang dikatakan oleh Baudrillard. Pembiusan virtual reality ini membuat kita menjadi cepat depresi ketika ide realitas yang salah ini ditabrakkan dengan realitas yang sesungguhnya, karena realitas hidup kita tidak bisa “seindah” di dalam realitas bayangan kita. Realitas sejati salib Kristus yang begitu agung, yang memberikan kebangkitan sesungguhnya dari kematian kekal digantikan dengan realitas semu Playstation, Sega, Nintendo, TV, dan lain-lain. Jadi, tidaklah mengherankan kalau zaman ini banyak sekali orang yang bunuh diri karena tidak memiliki daya juang akibat pelumpuhan yang dilakukan oleh virtual reality. Sebagai pemuda Kristen, realitas manakah yang sejati bagi kita? Refreshing gaya apa yang kita perlukan? Jawaban hidup untuk kesumpekan hidup yang bagaimanakah yang kita kejar? Di manakah prinsip Solus Christus dari pemuda Kristen di dalam menjawab setiap tantangan hidup di zaman ini? Apakah jawaban-jawaban kita atas pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan kita sebagai pemuda Kristen sejati? Benar-benar Kristenkah hidup kita? Reformed-kah kita?
Virtual reality ini telah menghasilkan dampak yang buruk bagi gaya hidup manusia (khususnya remaja-pemuda) zaman sekarang. Manusia cenderung mengatakan, “Serius itu tidak baik, santai sedikitlah! Mari kita rileks, mari bermain game, hidup itu harus fun!” Kita sering kali berpendapat bahwa teknologi seperti game itu netral adanya, padahal semua yang ada di dunia ini tidak pernah netral, setiap kehadiran konsol maupun game pasti membawa logika maupun filsafat di balik pencetusannya. Di zaman postmodern ini, games (dari konsol, fasilitas rekreasi seperti Dufan, dan lain-lain) mendapatkan tempat yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Bayangkan, teknologi pembuatan mikro-elektronik untuk game seperti konsol (128 bit) lebih tinggi daripada komputer atau laptop kita (maksimal 64 bit) untuk mendukung kita dalam bekerja, belajar, atau bahkan dalam pelayanan. Tanpa manusia sadari, hidupnya yang luas ini sudah didefinisikan di dalam konteks “game” yang berupa mainan demi ‘kenyamanan” dan kesenangan hidup. Keberadaan game ini telah menjadi begitu penting di dalam mengarahkan perkembangan kebudayaan umat manusia.
Lebih jauh lagi, seperti yang diungkapkan oleh filsuf postmodern dari Perancis zaman ini, Jean Baudrillard, media saat ini (tidak terlepas dari game) menawarkan kepada konsumen sebuah realitas yang bukan lagi bersifat virtual, namun sebuah realitas yang sudah dilebih-lebihkan. Ia menggunakan istilah hyper-reality. Manusia tidak lagi tertarik kepada dunia nyata. “Dunia nyata itu kejam! Saya butuh yang di luar ini yang bisa menenangkan hidup saya!” Bagi Baudrillard, hal ini sangat lumrah terjadi karena hiper-realitas memang diciptakan untuk mengakomodir kebutuhan manusia di dalam memuaskan keinginan/selera mereka. Manusia secara liar sering kali mencari hal-hal yang berlebihan supaya diri ini merasa dipenuhi atau dipuaskan. Game menjadi sebuah wadah yang sangat “akomodatif” bagi semangat zaman postmodern untuk meracuni kita, meracuni setiap orang, khususnya remaja-pemuda. Manusia membius dirinya agar tidak lagi menyadari realitas sesungguhnya. Realitas sesungguhnya dikoneksikan dengan realitas yang semu dan hiper. Para remaja-pemuda rela bangun tengah malam untuk “memberi makan” binatang peliharaannya di pet-society atau menyirami bunga tanamannya. Dulu saya pernah berdoa, tapi berdoa agar pet di dalam Tamagochi saya bisa sehat dan tidak mati. Hidup yang real didedikasikan kepada realitas yg semu dan hiper. Di dalam menjalankan perbudakan game ini, manusia menemukan kepuasan dirinya. Inilah zaman kita sekarang ini, zaman yang gila!
Orang Kristen juga tidaklah imun terhadap gaya hidup zaman yang gila ini. Semangat game sering dibawa masuk ke dalam gereja. Semangat menyodorkan realitas yang lain (realitas memuaskan diri) tanpa kita sadari kita bawa ke dalam gereja. “Ga masalah lah! Main game doank, ngapain sih harus dipikirin??? Di gereja-gereja aja masih ada game, untuk mendekatkan kita gitu loh… Kan kita melayani Tuhan juga jangan lupain orang lain donk?? Ekstrem lu ah! Ini kan part of being human.”
Gereja tidak boleh membuang otoritas dan keutamaan Firman Tuhan di dalam menjalankan fungsinya sebagai wadah kebenaran. Gerejalah yang seharusnya mendidik seluruh jemaat untuk tetap fokus kepada Tuhan dan firman-Nya. Penebusan cara pandang harus dilakukan di dalam hidup dari setiap orang Kristen agar orang Kristen selalu mencari definisi dari Firman Tuhan dalam segala aspek kehidupannya karena Dialah Pendefinisi hidup kita. Dengan demikian, hidup ini menjadi wadah (wahyu umum) yang menghadirkan wahyu khusus Allah. Hidup kita diberikan bukan untuk menyatakan realitas yang lain (revelation of wrath) tetapi hanya untuk menjadi revelation of grace of God.
Dari pemaparan di atas, diharapkan kita dapat melihat sebuah fakta bahwa apa yang namanya theologi dan apa yang dilakukan di dalam keseharian kita sering kali tidak nyambung di dalam hidup kita, bahkan berkontradiksi. Akhir kata, marilah kita berusaha dengan segenap hati kita, dengan segenap jiwa kita, dengan segenap akal budi kita, dan dengan segenap kekuatan kita untuk menghadirkan prinsip Firman Tuhan (wahyu khusus) dalam hidup ini (wahyu umum), di dalam segala detail hidup kita. Mulailah kita berpikir dari rencana Allah, kehendak Allah, dan mewahyukan Allah di dalam hidup ini. Tuhan yang mendefinisikan setiap langkah kita, bukan terbalik, bukan meminta Tuhan menjustifikasi apa yang ingin kita lakukan. Realitas hidup harus didefinisikan dari Pemilik Hidup, Pemilik Dunia ini, karena Allah kita adalah Allah yang menyatakan Diri-Nya. Dengan demikian, kita dapat terus belajar menghidupi hidup yang memuliakan Allah karena hidup kita hanya tertuju kepada rencana dan kehendak Allah. Soli Deo Gloria.
Diambil dari:
Nama situs: Buletin Pillar
Alamat URL: http://www.buletinpillar.org/artikel/realitas-semu-seru-apalagi-hyper-reality
Judul artikel: Realitas semu? Seru! Apalagi hyper-reality!
Penulis artikel: Hans Yulizar Sebastian
Tanggal akses: 5 Oktober 2015