Di antara banyak keluhan yang disuarakan anak-anak saya dalam perjalanan kami ke gereja pada hari Minggu adalah "ibadah di gereja itu sangat lama!"
Walaupun saya biasanya frustrasi karena ketidaksopanan yang diwarisi anak-anak saya dari ibu mereka ini, saya akhirnya menjadi tenang oleh ratapan rutin ini, karena mereka benar. Gereja memang sangat lama.
Akan tetapi, pendapat "dari mulut bayi" ini bukanlah produk ketajaman teologis mereka, melainkan lebih merupakan hasil dari pengajaran budaya mereka.
Efisiensi, Bagaimanapun Caranya
Salah satu tipuan besar era digital kita datang bersamaan dengan janji dan perwujudan efisiensi teknologi. Sudah pasti, pada awal abad ke-21, kita secara nyata lebih efisien dalam begitu banyak tugas, seperti mengirim informasi kepada teman lewat pesan teks, perbankan, mengambil dan menyimpan foto, dan mendapatkan fakta-fakta tidak jelas dari internet.
Namun, mari kita perjelas: tipuannya bukan terletak pada fakta bahwa kita dapat melakukan tugas-tugas ini secara lebih efisien. Tipuannya lebih halus.
Seiring meningkatnya efisiensi, pada akhirnya kita menjadi agak tidak kritis untuk percaya bahwa efisiensi dan nilai-nilai yang terkait dengannya (keterukuran, reproduksibilitas, nilai jual, dll.) harus menjadi ciri khas kegiatan manusia. Memang, jika sesuatu layak dilakukan, itu harus dilakukan dengan cepat dan efisien (dan dapat diukur, direproduksi, dan jika mungkin, dapat dijual).
Hal-hal yang tidak efisien cenderung dipandang sebagai masalah yang harus dihindari (karena itulah mengetik dengan T9 tidak lagi dilakukan; anak-anak, bertanyalah kepada orang tuamu).
Seiring kemajuan teknologi, khususnya teknologi seluler berbasis layar, meningkat juga ketergantungan kita pada teknologi tersebut. Banyak dari kita, termasuk saya, hampir tidak dapat melewati hari tanpa akses yang konsisten dan terus berlangsung terhadap perangkat seluler kita. Seperti disebutkan, kita mengirim pesan teks, melakukan panggilan, menulis email, mengatur perbankan, mengatasi kebosanan, dan menghibur diri dengan perangkat ini.
Maka dari itu, wajar saja ketika nilai-nilai yang melekat pada teknologi kita (karena tidak ada teknologi yang bersifat netral) menjadi nilai-nilai yang melekat dalam pandangan dunia kita. Dan, karena teknologi kita adalah alat untuk menyelesaikan tugas dengan lebih efisien, saya, sebagai manusia, dapat menjadi percaya bahwa panggilan utama saya dalam hidup adalah untuk menyelesaikan tugas dengan efisien juga. Saya berubah dari menjadi manusia ke berlaku manusia.
Gereja yang Tidak Efisien
Apakah mengherankan jika anak-anak saya mengeluh tentang gereja? Apakah mengherankan jika kita melihat jumlah kehadiran di gereja menurun sangat cepat? (Untuk informasi lebih lanjut tentang kehadiran di gereja di kalangan dewasa muda, bacalah laporan Keeping the Faith kami di sini.)
Meskipun ada sejumlah faktor yang memengaruhi hal ini, dapatkah ada keraguan bahwa kebangkitan budaya teknologi kita juga salah?
"Masalahnya" adalah Gereja itu sangat tidak efisien. Pendirinya, Yesus Kristus Sang Allah-Manusia, tampaknya tidak terlalu tertarik pada efisiensi demi efisiensi itu sendiri. Memang, jika itu masalahnya, inkarnasi itu sendiri akan menjadi pemborosan waktu dan energi. Akan tetapi, sebagaimana adanya, inkarnasi itu lambat dan menyakitkan karena itulah cara untuk menebus berbagai hal -- hal-hal kedagingan, hal-hal yang jatuh.
Ada beberapa hal yang terang-terangan tidak bisa Anda lakukan secara efisien. Ada beberapa hal yang terang-terangan tidak dapat dilakukan di "dunia maya" -- bentuk fiksi jika itu pernah ada -- dan Gereja adalah salah satunya.
Bagi umat beragama, yaitu mereka yang menghuni dua dunia, kita bergumul dengan anggapan bahwa kita harus pergi ke gereja untuk berpartisipasi dalam penebusan segala sesuatu. Kita tidak bisa memandang dengan benar; kita tidak terlatih dalam irama lambat gereja.
Ini khususnya sulit bagi kita, kaum injili. Sebagian dari dorongan injili adalah untuk mencari pengalaman pribadi dengan kasih karunia Allah yang bersifat langsung. Dorongan ini, pada dasarnya, bagus, tetapi perhatikan korelasi digitalnya. Cengkeraman teknologi sangat ulet karena memberikan pengalaman bersifat langsung, segera, dan sangat sensoris. Lebih jauh lagi, itu dapat menghasilkan berbagai pengalaman ini dengan volume dan frekuensi yang sangat tinggi sehingga mengikat penggunanya ke dalam pengalaman-pengalaman yang lebih mendalam.
(Satu-satunya kekurangannya adalah: ini adalah permainan tebak lokasi benda di antara beberapa wadah yang ditutup terbalik (shell game). Tidak ada yang nyata. Seperti yang dikatakan oleh Amy Crouch, "Sebanyak apa pun persegi panjang bersinar tidak akan dapat menggantikan satu pun lebah penari").
Memeluk Ritme yang Berbeda
Karena gereja memiliki orientasi eskatologis yang jelas berbeda dari teknologi modern, gereja dapat benar-benar berkontribusi terhadap masalah saat, dalam upayanya untuk berharmoni dengan masyarakat teknologi, gereja mengimpor aspek-aspek teknologi berbasis layar dan nilai-nilai yang menyertainya dalam kehidupan ibadah umum. Hanya dengan memiliki Alkitab di ponsel Anda, atau lirik-lirik lagu yang diproyeksikan ke layar, berarti Anda tidak perlu membagikan himne atau Kitab Suci dengan orang di sekitar Anda. Adanya suara yang diperkuat (lewat pengeras suara) berarti Anda tidak perlu lagi mendengar diri Anda sendiri bernyanyi sumbang, dll..
Pada dasarnya, dengan mengintegrasikan teknologi tertentu ke dalam gereja secara tidak kritis, kita menjalani risiko menyarankan bahwa penyembahan kepada Allah yang hidup paling baik dimediasi melalui penggunaan teknologi yang lebih baru, lebih baik, dan lebih cepat. Maka dari itu, Gereja seharusnya sama sekali tidak terkejut ketika jemaat yang cerdas memotong perantaranya (yaitu gereja) demi efisiensi.
Namun, kebutuhan akan gereja sekarang lebih besar daripada sebelumnya.
Pada akhirnya, hanya anugerah Allah melalui pelayanan gereja-Nya yang akan mengatasi gerbang kebinasaan teknologi. Sebab, memang betul, penderitaan yang ditimbulkan oleh zaman teknologi hampir sama besarnya dengan pencapaiannya.
Kecenderungan teknologi modern untuk membuat gelisah atau depresi penggunanya telah banyak didokumentasikan. Akan tetapi, semua dokumentasi, studi, dan peringatan itu hanya berfungsi untuk menopang apa yang kita ketahui secara intuitif: bahwa penggunaan obsesif kita terhadap teknologi berbasis layar telah merusak jiwa kita.
Kita dapat berkomunikasi lebih sering dari sebelumnya, dengan efisiensi yang terus bertambah, tetapi kita tidak punya banyak untuk dikatakan. Kita punya lebih banyak "teman" daripada sebelumnya, tetapi justru semakin terisolasi, cemas, dan putus asa dengan interaksi manusia yang sebenarnya.
Penggunaan teknologi yang kita lakukan secara terus-menerus untuk memperbaiki kondisi manusia yang menyakitkan ini memungkiri kecanduan kita terhadapnya dan kegilaan yang menyertainya.
Wujudkan dan Ingatlah
Gereja (terutama Gereja yang lambat) adalah obat untuk kegilaan ini. Gereja adalah sarana yang dengannya Allah menyusun waktu, tempat, dan langkah manusia yang layak.
Melalui Gereja, Allah menata kembali prioritas kita dengan pemberitaan Firman yang setia dan administrasi sakramen yang benar. Kedua pengobatan Gereja ini mengganggu tatanan era teknologi karena mereka membentuk suatu ritme dan langkah ke dalam kehidupan kita, yang dimaksudkan untuk mengarahkan kita menjadi manusia yang layak.
Afiliasi denominasi Anda tidak penting dalam hal ini: entah apakah Anda percaya pada kehadiran nyata ketika sakramen, atau Anda benar-benar hadir saat Anda mengenang pengorbanan sempurna Kristus yang ditawarkan sekali untuk selamanya, intinya adalah Anda terlibat dalam dua kegiatan mendasar yang berada di pusat agama Kristen: perwujudan dan peringatan, dua tindakan yang telah didorong ke tepi, bahkan mungkin melewati tebing, oleh kehidupan kita yang berbasis layar dan didorong oleh teknologi (sebab, siapa yang dapat mengingat apa yang mereka lihat di internet 3 minggu lalu?).
Dalam bahasa populernya, ketidaknyamanan total yang timbul karena membangun hidup kita di sekitar ritme Gereja merupakan suatu fitur, bukan suatu bug (kerusakan/gangguan). Menjadikan efisiensi demi kepentingannya sendiri sebagai nilai yang pantas bagi Gereja berarti tunduk kepada ideologi pandangan dunia teknologi -- dan mengharapkan hasil yang sama: ketidakterhubungan, kegelisahan, dan keputusasaan.
Dari istilah-istilah yang digunakan untuk menggambarkan gereja dalam Perjanjian Baru, kata-kata efisien, nyaman, menghibur, dan mudah tidak ada di antaranya. Sebaliknya, kita melihat bahwa Gereja, yaitu "mereka yang dipanggil keluar", terlibat dalam tugas yang berisiko, subversif, serta revolusioner (liturgi): ibadah kepada Raja Semesta yang telah bangkit.
Sudah terjalin dalam DNA Gereja untuk melatih kita dalam ritme kehidupan yang berbeda. Media Gereja itu sendiri bertentangan dengan lingkungan yang tidak berwujud dan penuh gangguan.
Alih-alih tertuju pada gambar beresolusi tinggi yang berkedip di depan mata kita setiap detik atau lebih, mata kita tertuju pada salib, mazbah, atau mimbar seluruhnya. Tetap berfokus kepada Kristus yang hadir melalui firman dan roh-Nya adalah suatu perjuangan, pastinya, tetapi itu perjuangan yang menghasilkan Kristus di dalam kita, dan buah Roh.
Memang benar, itu berarti dibentuk serupa gambar dari satu-satunya Manusia yang pernah hidup, yaitu Yesus Kristus.
Gereja Sangat Lama
Pengakuan bahwa kehidupan dalam gereja bisa sulit, membosankan, dan tidak menarik adalah isyarat penting.
Ini merupakan undangan untuk memeriksa pola hidup kita, dan tepatnya kepada apa kita memberikan diri kita, dan apa nilai yang ditanamkan pola dan kebiasaan itu dalam diri kita. Kita harus menyadari, seperti kata C.S. Lewis, "Setiap kali Anda membuat keputusan, Anda mengubah bagian penting dalam diri Anda, yaitu bagian dari Anda yang memilih, menjadi sesuatu yang sedikit berbeda dari sebelumnya." -- "sedikit berbeda" karena perubahan ini terjadi sepanjang hidup kita.
Sementara ritme yang sangat berbeda menanti kita di gereja, itu jauh lebih besar daripada diserahkan kepada perangkat kita sendiri.
Jalan penebusan itu lambat, bahkan melelahkan, tetapi itu adalah cara yang ditentukan oleh Allah untuk menuju pengalaman manusia yang sejati. Menurut almarhum Eugene Peterson, itu merupakan "ketaatan yang panjang dalam arah yang sama", terpujilah Tuhan bahwa gereja itu sangat lama. (t/N. Risanti)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | Briercrest College and Seminary |
Alamat situs | : | https://www.briercrest.ca/post/?ID=4247 |
Judul asli artikel | : | Why We Need Church in the Digital Age |
Penulis artikel | : | Joel Houston |
Tanggal akses | : | 22 Januari 2020 |