Berikut ini adalah wawancara Redaksi APPPS LIVE dengan Mr. Chris Armas mengenai pelayanan teknologi. Mr. Chris Armas adalah founder dari Code for the Kingdom. Redaksi APPPS LIVE mendapat kesempatan untuk mengenal beliau dalam event C4TK di Jakarta, bulan Oktober lalu.
1. Untuk mengaplikasikan teknologi dan pelayanan, Anda dan teman-teman bergerak untuk melaksanakan global hackathon Code for the Kingdom. Bagaimana awal kegiatan ini? Mengapa Anda mencoba konsep hackathon untuk pelayanan (yang notabene berasal dari dunia bisnis)? Apakah ini mempunyai manfaat yang signifikan untuk gereja?
Konsep hackathon lahir dari dunia bisnis dan diaplikasikan pada berbagai bidang seperti teknologi, administrasi publik, dan lain-lain. Ada manfaat besar dari hackathon yang tak disadari oleh para pemimpin gereja dan yayasan Kristen masa kini. Saya mengenal konsep ini dari Leadership Network yang diperkenalkan oleh Bob P. Bufford (pendiri Leadership Network).
Pemimpin gereja masa kini tidak menyadari kekuatan dari teknologi. Selain itu, para praktisi teknologi belum tahu cara memaksimalkan kemampuannya untuk melayani Tuhan. Oleh karena itu, hackathon sangat penting untuk menyatukan kedua kelompok ini. hackathon memberikan tiga elemen yang memberi berkat buat para pemimpin:
- "to engage" (terlibat dengan orang-orang dalam berbagai bidang),
- "to challenge" (menantang setiap orang untuk menyelesaikan permasalahan yang ada), dan
- "to release" (melepas orang-orang tersebut untuk memberi berkat di tempatnya masing-masing, baik kerja, sekolah, maupun keluarga).
Kita suka memecahkan masalah. Konsep dari hackathon Code for the Kingdom adalah bagaimana kita memecahkan masalah dengan memikirkan Kerajaan Allah; mulai dari proses ideation (konseptualisasi), cara berpikir, dan hal-hal yang saya sangat minati. Satu catatan, pelayanan ini bukanlah soal teknologi, tetapi soal budaya. Kita jadi tahu banyak kesamaan di antara kita karena teknologi telah menyediakan sangat banyak, sangat banyak. Seperti saya di Amerika dan Anda sekarang di Indonesia; kita bisa berkomunikasi tanpa batas jarak ataupun waktu. Ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan 20 tahun lalu.
Hal yang benar-benar unik pada zaman ini adalah teknologi informasi. Teknologi ini telah membentuk zaman, mengubah perilaku kita. Teknologi informasi akan membentuk budaya untuk generasi berikutnya. Generasi berikutnya akan menjadi "mobile-first generation", mereka akan mempelajari segala hal dari HP mereka sebelum sekolah dan orangtua.
Code for the Kingdom sendiri bukanlah tentang budaya, melainkan para pencipta budaya (culture makers). Apa yang mereka buat membentuk budaya (seperti Whatsapp, BBM, Line). Bagaimana jika mereka mendesain sesuatu yang menghormati dan memuliakan Kerajaan Tuhan? Mungkin seusai event ini, mereka belum terlalu memahaminya. Namun, jika mereka bertumbuh dalam iman beserta keluarganya, mereka akan paham.
Satu kalimat yang paling penting mengenai Code for the kingdom (dan aku mau kau mendengarnya dengan baik): Ini bukan tentang apa yang kita buat dalam akhir pekan, ini tentang emosi (relasi).
2. Bagaimana Anda menangkap pengertian bahwa "teknologi membentuk budaya"?
Lihatlah sekelilingmu! Lihatlah benda ini (sambil menunjukkan smartphone-nya), benda kecil yang terbuat dari plastik dan dilapisi silikon ini. Handphone adalah ekspresi dari individualitas setiap orang. Ini mengubah seluruh planet.
Dulu, aku pernah mengunjungi salah satu desa di Afrika. Desa itu belum punya listrik, tetapi mereka semua sudah memiliki smartphone. Saat ini, lebih mudah memiliki sebuah handphone daripada memiliki jaringan telepon rumah.
Teknologi telah melewati berbagai batas dan jarak. Konsep social network telah muncul di seluruh bangsa.
3. Apa saja topik yang muncul berulang kali dalam acara Code for the Kingdom selama 2 tahun ini?
Games anak-anak dan orang dewasa, bagaimana cara menjadi dermawan (tidak hanya untuk Tuhan, gereja, tetapi juga sesama), keadilan sosial (seperti penjualan manusia, menolong para tunawisma). Fondasi kekristenannya yang ada dalam Yesus Kristus (yang memberikan baju bagi yang telanjang, dan roti untuk yang miskin).
Ada juga, bagaimana kita bisa menjadi volunter (sukarelawan) yang lebih baik? Bagaimana kita mentoring (mengajar) satu sama lain? Bagaimana kita menggunakan teknologi bukan untuk mengasingkan manusia, tetapi justru menyuburkan dan menguatkan hubungan antarkeluarga, apalagi hubungan yang sesuai dengan firman Tuhan?
Contoh-contoh konkretnya, seperti di Nairobi membuat teknologi untuk melawan korupsi. Di London, jika kau mengenal perusahaan Air B'nB yang menawarkan rumah/sofa pribadi sebagai tempat penginapan para turis, para peserta Code for the Kingdom mengadopsi konsep serupa untuk para pengungsi.
4. Code for the Kingdom menyertakan orang-orang belum percaya sebagai peserta. Apakah hal ini tidak akan mengganggu inti dari acara itu sendiri?
Setiap orang dari kita akan bertanggung jawab pada Kerajaan Allah, baik apa pun latar belakang dan agama mereka. Setiap manusia memiliki satu hak asasi dasar, yaitu untuk mengenal Yesus Tuhan kita. Ini adalah "Code for the Kingdom", bukan "Code for Denomination". Salah satu cara terbaik untuk merepresentasikan Kerajaan Allah adalah inklusif (terbuka) pada orang-orang, sebagaimana orang-orang Kristen dipanggil untuk mengasihi dan melayani sesamanya.
5. Bagaimana tanggapanmu mengenai para orangtua yang anti pada teknologi, tetapi di satu sisi dia harus mendidik anaknya di era teknologi ini?
Banyak orangtua khawatir mengenai bagaimana anaknya menggunakan teknologi informasi; ada bahaya dan kelemahan di balik mobile-first generation. Setiap orangtua memiliki cara mendidik anaknya sendiri, dan mungkin salah satunya adalah dengan membatasi atau bahkan melarang penggunaan teknologi bagi anak-anak.
Namun, anak-anak juga harus siap menghadapi dunia luar. Yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana membuat dan menyediakan konten-konten digital yang berpusat pada Injil. Dengan begini, anak-anak akan memiliki tempat yang lebih baik untuk bermain dalam dunia digital mereka.
Di manakah anak-anak itu akan bertumbuh (dalam dunia digital)? Apakah tempat yang gelap atau tempat yang terang? Tugas kita adalah memberikan cahaya-cahaya kecil dalam dunia digital.
6. Apa saran/nasihat yang bisa Anda berikan pada orang Kristen yang gaptek ataupun maniak teknologi?
Saya tak akan memberikan saran, sebab dua kelompok ini memiliki masalah yang sama: mereka kurang berhikmat dalam memanfaatkan teknologi untuk hidup yang berpusat pada Injil. Untuk hal membiasakan diri dengan teknologi, para user (pengguna) akan beradaptasi sesuai apa yang dibuat oleh para maker (pencipta).
7. Apakah teknologi aplikasi dapat dipakai untuk Tuhan?
Tentu saja! Aplikasi dan berbagai cara ekspresi manusia dapat dipakai untuk memuliakan Tuhan dan melayani anak-Nya. Hal paling mendasar adalah untuk melayani dan mengasihi anak-Nya.
Contohnya, ada satu tim yang membuat aplikasi untuk sosial. Seorang anak yang tak memiliki ayah selalu bisa berhubungan dengan mentornya melalui aplikasi.
Seperti kata Chris Lim, kita sedang melihat sedikit dari kasih Tuhan; ketika kita menyebarkan firman Tuhan ke berbagai bahasa, ketika kita menolong orang-orang yang Tuhan kasihi dan rela berkorban untuk mereka. Jika itu bisa terwujud melalui aplikasi, tentu saja aplikasi bisa melayani Tuhan.