Apps4God

Submitted by admin on Mon, 09/23/2019 - 12:00

Teknologi-teknologi digital baru memiliki potensi untuk memajukan Injil atau malah menyebarkan kehancuran.

Pada 1988, saya dan istri saya, Donna, merintis gereja pertama kami di Buffalo. Banyak masalah yang saya hadapi dalam jemaat saya yang masih ada sampai hari ini. Kami masih bergumul menghadapi rasisme dan seksisme di bangku-bangku jemaat dan di dunia. Meskipun narkoba mungkin telah berubah, menghadapi meratanya kecanduan dan kehancuran yang ditimbulkannya masih tetap menjadi pusat perhatian kehidupan gereja hari ini.

Akan tetapi, meskipun semua sama, tidaklah berlebihan untuk menekankan betapa pesatnya kemajuan teknologi digital dan internet telah mengubah kehidupan di dalam dan di luar gereja. Perhatikan dua poin data berbeda dari hasil jajak pendapat Pew:

Poin Data 1: Penggunaan ponsel telah naik dari 62% pada 2002 menjadi 95% pada 2018.

Dalam kurun waktu kurang dari 16 tahun, penggunaan ponsel telah beralih dari biasa menjadi sangat diperlukan. Kita telah mencapai titik tempat gagasan bahwa seseorang tidak memiliki ponsel adalah tidak lazim.

Masuknya komunikasi instan dengan siapa pun kapan pun dan melintasi berbagai macam alat jalur komunikasi mengubah cara kita berhubungan dengan orang lain. Tiba-tiba, kita tidak pernah sendirian; kita membawa teman-teman dan keluarga kita dalam genggaman tangan kita.

Poin Data 2: Penggunaan smartphone telah naik dari 35% sejak gawai itu diperkenalkan pada 2001 menjadi 77% pada 2018.

Sama dengan ponsel jadul, smartphone telah berubah dari yang sebelumnya tidak ada menjadi yang tampaknya sangat diperlukan. Lebih dari sekadar keluarga dan teman-teman kita, tiba-tiba seluruh dunia terbuka di hadapan kita. Kita selalu terhubung, selalu terkoneksi, selalu disajikan berbagai suara yang tak henti-hentinya berteriak meminta perhatian kita.

Menimbang dua poin ini, apakah mengejutkan jika jemaat yang dihadapi oleh para pendeta setiap hari Minggu benar-benar berbeda dengan jemaat yang hadapi pada 1998? Dalam buku baru saya, Christians in the Age of Outrage (Orang Kristen pada Zaman Kebiadaban), saya mengemukakan bahwa perubahan yang sangat cepat ini adalah salah satu penyebab utama kebiadaban pada masa kini. Kita memiliki semua teknologi baru dan platform daring yang dengannya kita bereaksi secara instan dan memperkeras suara-suara yang paling keras dan bersifat memecah belah ini. Kita adalah masyarakat yang setiap anggotanya memiliki alat pengeras suara dan kapasitas yang semakin kecil untuk menolak menggunakannya.

Sayangnya, gereja, sama seperti masyarakat lainnya, telah lambat menyesuaikan diri terhadap perubahan ini. Terdapat kesenjangan pemuridan teknologi antara pentingnya teknologi dalam kehidupan kita sehari-hari dengan seberapa efektif para pemimpin Kristen mendisiplin jemaat mereka dalam penggunaan teknologi dengan tepat. Dalam buku itu, saya merenungkan ini:

Orang Kristen sering kali memiliki kebiasaan buruk yang sama seperti orang-orang lain, kebiasaan-kebiasaan yang tidak hanya merusak kesejahteraan dan relasi mereka, tetapi juga kekuatan dan kesaksian rohani mereka. Terlepas dari bahaya-bahaya ini, kapan terakhir kali gereja Anda mengajarkan tentang penggunaan media atau media sosial dengan tepat? Bagaimana dengan pengajaran pemuridan yang riil tentang bagaimana orang Kristen dapat mengembangkan kebiasaan-kebiasaan teknologi yang saleh? Terpisah dari peringatan pendeta-pendeta pemuda tentang cyberbullying (kekerasan di dunia maya - Red.), kapan pesan-pesan khotbah menyentuh cara teknologi membentuk kehidupan kita atau bagaimana perilaku kita secara daring berkaitan dengan iman kita? Saya telah mendengar banyak khotbah yang membahas permasalahan pornografi, tetapi saya bisa menghitung dengan satu tangan pada berapa kali seorang pendeta atau guru sekolah minggu membahas pemuridan daring yang lebih luas/lengkap.

Orang Kristen telah melihat munculnya pasar-pasar digital, dan bukannya berpikir secara kritis tentang sifat-sifat dan dampak-dampaknya, mereka justru telah masuk ke dalamnya. Kita mengatakan kepada diri sendiri bahwa ini adalah inovasi untuk kemuliaan Allah, padahal kita tahu bahwa inovasi untuk perluasan platform itulah yang sering kali lebih mendekati maksud kita sebenarnya. Pemuridan mungkin bahkan tidak terlintas dalam pikiran kita.

Dalam sebuah penelitian baru-baru ini yang kami adakan di Billy Graham Center Institute bekerja sama dengan LifeWay Research, kami menyelidiki cara-cara teknologi dan media sosial berdampak pada kehidupan dan kesaksian para penginjil.

Kami menemukan bahwa teknologi dan kebiasaan daring para penginjil secara luas mencerminkan kebiasaan publik secara umum, jika bukan sedikit melebihi mereka. Sejauh ini, platform media sosial yang paling umum adalah Facebook, dengan lebih dari tiga per empat para penginjil menurut keyakinan (77%) mengatakan bahwa mereka rutin menggunakan situs itu (dibandingkan dengan 71% yang bukan penginjil). Meskipun tidak sama luas tersebarnya, YouTube (46%), Instagram (28%), dan Twitter (22%) semua mencatat penggunaan yang signifikan di antara para penginjil.

LifeWay Research

Barangkali yang lebih penting daripada sekadar penggunaan adalah untuk apa para penginjil memakai media sosial. Hampir seperempat para penginjil (24%) melaporkan bahwa mereka melibatkan orang-orang lain di media sosial setiap hari mengenai isu-isu sosial dan politik.

Bandingkan itu dengan hampir separuh (44%) yang mengatakan bahwa mereka jarang atau tidak pernah terlibat dengan orang-orang lain untuk membicarakan isu-isu sosial atau politik. Hal ini melukiskan sebuah gambaran yang menantang mengenai jemaat modern yang dihadapi oleh para pendeta penginjil setiap hari Minggu.

Sekelompok besar jemaat yang signifikan menggunakan media sosial secara teratur dengan turut terlibat membicarakan isu-isu kontroversial sehari-hari dan beberapa orang menghindari hal-hal itu karena menganggapnya seperti gangguan. Setiap minggu, Anda memiliki anggota jemaat yang melemahkan kesaksian mereka karena amukan pertengkaran secara daring yang merusak, sementara yang lain tidak mengerti apa yang Anda maksud ketika menyebut "Twitter".

Bagaimana Anda memuridkan jemaat dengan perbedaan perilaku yang besar seperti itu?

Teknologi digital dan platform media sosial kita yang baru memiliki potensi yang tak terkatakan untuk memajukan Injil Yesus Kristus. Pada waktu yang sama, mereka dapat benar-benar menghancurkan jemaat, gereja, dan komunitas.

Pemuridan yang efektif membantu orang Kristen menundukkan alat-alat ini dalam pelayanan bagi Kristus daripada menjadi budak dari kekuatan mereka yang menghancurkan. Dalam buku saya, saya menguraikan beberapa prinsip untuk diperhatikan oleh orang Kristen dalam menyelaraskan perilaku daring mereka dengan kesaksian iman mereka.

Bersamaan dengan itu, saya mendorong orang Kristen untuk memandang pelayanan lokal dalam komunitas Anda dan melalui gereja Anda sebagai lahan misi utama orang percaya. Pada suatu waktu ketika teknologi menjadikan komunikasi semakin menjauhkan dan membuat renggang, menginjili sesama kita telah menjadi hal yang berlawanan.

Ini adalah sebuah dunia baru, yang penuh dengan pemisahan dan kemarahan dengan kapasitas yang tak terduga untuk membawa mereka masuk ke dalam ruang keluarga dan bangku-bangku gereja kita. Orang Kristen perlu berpikir dengan hati-hati tentang bagaimana mereka bisa hidup dan ikut serta dalam dunia baru ini bagi kemuliaan Kristus dan memperluas Kerajaan-Nya. (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Christianity Today
Alamat situs : https://www.christianitytoday.com/edstetzer/2018/october/technological-discipleship-gap-ed-stetzer-research-social.html
Judul asli artikel : The Technological Discipleship Gap
Penulis artikel : Ed Stetzer
Tanggal akses : 5 September 2019