Apps4God

Submitted by admin on Thu, 01/15/2015 - 12:00

Saya mendapatkan iPhone pertama saya pada tahun 2010, ketika saya memulai sebuah peran di dalam komunikasi dan membantu media sosial utama untuk suatu pelayanan kampus.

"Coba kulihat dulu apakah saya menyukainya. Mungkin aku akan menarik ucapanku kembali," saya berkata kepada teman saya Cory ketika makan siang. Dia menyeringai. "Adam, tidak seorang pun yang mendapatkan salah satu dari perangkat ini yang pernah kembali ke hidupnya tanpa memilikinya."

Dia benar, tentu saja. Sebagian besar hidup saya berpindah dari ruang yang lain menuju alat-alat ini: peta, buku, koran, kalender, musik, catatan, daftar, alarm, pengingat, foto, perbankan, berkas, rekaman, panggilan, penghitungan, ramalan cuaca, dan bahkan Alkitab saya dan pertemanan saya. Hampir semua aspek kehidupan saya, entah bagaimana, terikat dengan atau dikelola melalui benda kecil yang terbuat dari besi dan kaca di dalam saku celana saya ini.

Dengan begitu banyak bagian hidup yang terikat di dalam konektivitas saya yang terus menerus, saya mulai memperkirakan bahwa segala sesuatu selalu melibatkan ponsel saya. Jika saya sedang tidak menggunakan ponsel saya, saya merasa seperti saya sedang tidak melakukan apa pun. Jika saya tidak sedang melihat ponsel saya, saya sedang tidak melihat apa pun. Jika saya tidak sedang menyentuh ponsel saya, saya tidak hidup.

Masalah dengan Koneksi yang Terus-Menerus

Banyak dari kita yang takut terputus dari ponsel kita (atau perangkat baru apa pun yang bisa Anda pikirkan). Kita menikmati dan membutuhkan konektivitas yang terus-menerus.

Allah memerintahkan bangsa Israel untuk beristirahat, menunjukkan koneksi mereka kepada-Nya. Kita memerlukan hal yang sama pada masa kini.

Kita menyadari secara naluriah bahwa hal ini merupakan suatu masalah. Dan sekarang, riset mulai menggambarkan gambaran yang mengejutkan dari masalah kita.

Sebuah penelitian di Psychological Reports: Disability and Trauma (Laporan Psikologis: Kelumpuhan dan Trauma - Red.) tampaknya mengimplikasikan bahwa penarikan diri dari media sosial sangat menyerupai seorang pecandu narkoba yang jatuh kembali ke bumi. Kita merespon dengan lebih cepat terhadap tanggapan dari Facebook daripada rambu-rambu lalu lintas.

Dan Anda barangkali pernah mendengar bahwa terhubung sepanjang waktu tidak baik untuk istirahat ktia -- terlalu banyak cahaya biru dari ponsel kita sebelum tidur dapat mengganggu istirahat kita, menurut Brian Zoltowski dari Southern Methodist University (Universitas Metodis Selatan - Red.), sebagaimana dilaporkan oleh Scientific American. Dan efek kumulatif dari kualitas tidur yang kurang berakibat sangat buruk bagi kesehatan kita.

Dan menurut The Social Times, 18 persen dari kita mengakui kita sekarang tidak dapat pergi lebih dari beberapa jam tanpa memeriksa Facebook.

Ketika kita terpisah dari ponsel kita, "kita mengalami pengurangan "diri" dan kondisi fisiologis yang negatif," menurut Russel Clayton dari University of Missouri (Universitas Missouri - Red.) yang menulis bersama "The Extended iSelf: The Impact of iPhone Separation on Cognition, Emotion, and Physiology (iSelf yang Diperluas: Dampak Terpisah dari iPhone terhadap Kesadaran, Emosi, dan Fisiologi - Red.)" di dalam The Journal of Computer-Mediated Communication (Jurnal Komunikasi Berbasis Komputer - Red.).

Allah dan Facebook

Karena saya menggunakan media sosial, saya tahu bahwa orang-orang Kristen perlu melangkah dengan hati-hati dalam hal ini. Kita perlu menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang penting terhadap diri kita sendiri.

Rasul Paulus pernah mengatakan bahwa tidak segala sesuatu itu berguna, bahkan jika itu diperbolehkan (1 Korintus 10:23). Dan kita tidak boleh diperhamba oleh apa pun, bahkan jika itu merupakan hak kita (1 Korintus 6:12). Kita tahu kita tidak dapat melayani Allah dan uang (Matius 6:24). Barangkali kita perlu mulai bertanya kepada diri kita sendiri apakah kita dapat melayani Allah dan Facebook.

Di sisi lain, seberapa sering waktu kita di Facebook membantu kita berpikir tentang semua yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, yang disebut kebajikan dan patut dipuji, sebagaimana yang diperintahkan bagi kita untuk dilakukan di dalam Filipi 4:8? Ataukah konektivitas kita yang terus-menerus mencegah kita untuk berdiam dan mengetahui bahwa Allah adalah Allah, sebagaimana yang ditulis di dalam Mazmur 46:10?

Meski kita pada umumnya tidak lagi membuat berhala dari emas atau kayu, terkadang konektivitas kita mengganggu persekutuan kita.

Membentuk Kebiasaan yang Lebih Baik

Saya kira impuls untuk memusatkan hidup kita pada ponsel kita ini muncul dari keindahan perangkat itu sendiri, pemasaran atasnya, dan kenyamanan yang sering kita rasakan ketika membawa satu benda yang dapat sangat membantu.

Akan tetapi, pada tingkat yang lebih dalam, saya melakukan hal ini -- dan menikmatinya -- karena saya diciptakan untuk berelasi, sama seperti semua orang. Triknya adalah ketika alat-alat tersebut meningkat melebihi panggilan.

Sekarang, istri dan teman-teman saya tidak akan mengatakan bahwa saya sangat kasar atau "kecanduan" ponsel saya. Akan tetapi, kebiasaan teknologi saya sedikit membengkokkan pemikiran saya, mengarahkan pikiran saya menuju alat ini lebih daripada yang dibenarkan atau menyehatkan.

Oleh karena itu, saya mulai mencari cara untuk mengelola hubungan ini. Saya mulai bertanya kepada orang lain apa yang mereka lakukan (atau tidak mereka lakukan) untuk menangkal disfungsi dari alat ini, untuk menjaga alat ini tetap pada tempatnya yang semestinya.

Inilah apa yang saya lakukan untuk melawan konsekuensi rohani dari kecanduan teknologi yang saya alami:

Memperingati hari Sabat. Hal ini akan terasa sulit dan tidak nyaman saat pertama kali, tetapi satu hari penuh tanpa layar sangat menyegarkan. Allah memerintahkan bangsa Israel untuk beristirahat, menunjukkan koneksi mereka kepada-Nya. Kita memerlukan hal yang sama pada masa kini. Atur ponsel Anda dalam modus pesawat atau tinggalkanlah benda itu di rumah, dan dengan sengaja menjauh dari benda tersebut.

Rencanakan pemakaian Anda. Ponsel pintar sangat berguna dan selalu bersama-sama dengan kita. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa kita perlu memeriksanya 50 kali dalam sehari. Pengecekan yang terus-menerus mengganggu aliran, pemikiran, doa, konservasi, dan pekerjaan kita. Saya dengan sengaja terhubung hanya dua sampai empat jam dalam sehari. Tentukan berapa banyak Anda akan mengeluarkan perangkat yang Anda miliki, kapan waktu-waktu itu dan berapa lama Anda akan menggunakannya. Saya benar-benar mengatur sebuah penghitung waktu, dan setiap kali ia berbunyi, saya mengusapnya untuk menutup Instagram atau Twitter atau Facebook atau Snapchat. Saya bertumbuh di dalam disiplin diri yang seharusnya saya miliki sebagai seorang pengikut Kristus.

Pilihlah saluran Anda. Kita memiliki terlalu banyak saluran untuk terhubung kepadanya -- email, pesan teks, Snapchat, Facebook, WhatsApp, Hangouts, Skype, Yik Yak, dan apa pun yang akan diluncurkan esok hari. Saya mendapati bahwa sangat lebih baik untuk hanya memiliki satu platform yang diminati saja (seperti pesan teks atau email) yang orang-orang penting ketahui. Tetap pantau yang satu itu melalui pemberitahuan-pemberitahuan yang ada, tetapi matikan semua yang lain, dan nikmatilah ketenangannya. Saya merasa lebih bahagia dan lebih kreatif tanpa semua pemberitahuan dari ponsel saya. Bagi saya, beralih kepada paket data yang tidak berkontrak di mana saya harus membayar untuk setiap megabute sangat membantu dalam hal ini.

Pertimbangkan semua ikatan sosial tersebut. Barangkali terdapat beberapa orang yang Anda berinteraksi dengannya (atau setidaknya Anda ikuti) di media sosial yang kurang Anda sukai. Anda mungkin perlu tetap terhubung karena mereka adalah keluarga, sedang terluka, atau memerlukan Yesus. Akan tetapi, bagi banyak orang lainnya, hidup terlalu singkat untuk mengembangkan diri Anda dengan terlalu tipis.

Perhatikan hati Anda. Latihlah untuk memerhatikan bagaimana Anda memikirkan dan merasakan ketika Anda terhubung. Mungkin coba catat setiap hari dalam seminggu untuk beberapa menit setelah Anda memeriksa media sosial. Coba lihat pola apa yang muncul di situ. Dan, doakanlah melalui apa yang muncul di situ. (t/Odysius)

Diterjemahkan dari:
Nama situs: Relevant Magazine
Alamat URL: http://www.relevantmagazine.com/culture/tech/spiritual-consequences-tech-addiction
Judul artikel: The Spiritual Consequences of Tech Addiction
Penulis artikel: Adam Jeske
Tanggal akses: 7 Januari 2016