Apps4God

Submitted by admin on Wed, 02/24/2021 - 09:20

Masa kecil saya dipenuhi dengan hubungan yang signifikan dan bermakna yang penting bagi perkembangan saya. Seperti banyak anak seusia saya, saya memiliki interaksi komunitas yang normal di rumah, sekolah, olahraga, dan gereja. Baik itu melalui penguatan, disiplin, risiko, atau bahkan tekanan teman sebaya, masing-masing hubungan ini berkontribusi dalam cara kecil atau besar untuk membantu saya memahami diri saya. Mereka membantu membentuk dan membangun identitas saya.

Itulah bagian dari arti menjadi manusia. Kita diciptakan ke dalam hubungan – tidak hanya dengan Allah tetapi dengan satu sama lain. Dalam bukunya "The Image of God", Anthony Hoekema secara konstruktif menulis: -Pria dan wanita tidak dapat mencapai kemanusiaan sejati dalam isolasi; mereka membutuhkan persekutuan dan stimulasi orang lain. Kita adalah makhluk sosial […] Manusia tidak bisa benar-benar menjadi manusia terpisah dari orang lain.-

Contoh tentang Victor dari Aveyron - -Wild Child -- Perancis - menggambarkan hal ini dengan sempurna. Victor adalah seorang anak liar yang ditemukan di hutan sekitar usia dua belas tahun. Diyakini dia telah ditinggalkan oleh orang tuanya pada usia yang sangat dini, dan kemungkinan besar dia hidup dalam kesendirian selama hampir tujuh tahun. Perilakunya yang aneh lebih mirip dengan binatang buas daripada manusia, dan dia hanya membuat sedikit kemajuan setelah dia ditemukan. Victor menjadi contoh yang menarik tentang efek isolasi sosial. Mengutip ceritanya, Hoekema menambahkan: "Tampaknya terlepas dari kontak dan persekutuan dengan manusia lain, seseorang tidak dapat berkembang menjadi pria atau wanita normal."

Pengamatan inilah – baik dari Alkitab maupun alam – yang seharusnya menyuarakan peringatan tentang pengaruh media sosial. Statistik yang aktual mencengangkan. Kaum muda berusia 8 hingga 12 tahun menghabiskan rata-rata enam jam sehari pada teknologi, dan remaja berusia 13 hingga 18 tahun menghabiskan rata-rata sembilan jam sehari menonton video streaming, melihat gambar-gambar, mendengarkan musik, dan bermain game. Itu waktu sosial yang lebih banyak dalam satu hari biasa daripada yang dihabiskan dengan orang tua, teman sebaya, atau tim olahraga.

Ya, orang dewasa juga menggunakan media sosial. Hampir 70% orang dewasa di Amerika Serikat memiliki akun media sosial. Namun, ada perbedaan besar. Orang dewasa menggunakan media sosial untuk membicarakan hal-hal yang tidak berarti dan tidak penting. Itu bukan cara iGeneration menggunakannya. Seperti hutan terpencil yang membentuk identitas Victor yang sendirian, media sosial menjadi kekuatan dominan di balik perkembangan identitas generasi muda.

Mungkin sulit bagi banyak orang dewasa untuk memahaminya. Bahkan, sebagai seorang Milenial yang memiliki ICQ dan MSN Messenger, sebagian besar perkembangan generasi saya dihabiskan tanpa media sosial – termasuk masa remaja kami yang paling penting. Meskipun ketergantungan dan kecanduan teknologi kemungkinan menjadi masalah bagi orang dewasa, ada saatnya kami belajar tentang diri kami sendiri tanpa menggunakan media sosial. Akan tetapi, iGeneration menggunakannya untuk membentuk dan membangun identitas mereka.

Hal inilah yang menjadi perhatian Abigail Shrier dalam bukunya "Irreversible Damage: The Transgender Craze Seducing Our Daughters". Agar jelas, Shrier tidak menulis dari perspektif Kristen konservatif. Dia menulis sebagai salah satu pendukung komunitas LGBTQ+ yang, bagaimanapun, peduli dengan penegasan transgender yang mendominasi masyarakat. Sebagian besar dia menyalahkan fenomena disforia gender modern dengan identitas yang membentuk kekuatan media sosial: -Selama sembilan jam sehari, remaja saat ini menyelinap ke internet oubliette khusus, sendirian. Mereka menelusuri halaman glamor yang menawarkan rahasia tentang kehidupan teman dan selebriti serta influencer/pemberi pengaruh internet. Mereka masuk ke YouTube, TikTok, Instagram, Reddit, dan Tumblr, menyerap informasi tentang kehidupan dari penghuni yang menunggu mereka.- Dia melanjutkan dengan menegaskan bahwa keterlibatan media sosial yang berkepanjangan mengubah anak-anak kita.

iGeneration tidak masuk ke media sosial untuk berdebat tentang politik, memposting meme, atau bertemu dengan teman-teman lama yang hilang. Mereka masuk untuk menemukan diri mereka sendiri - untuk membentuk, membangun, dan menentukan identitas mereka. Tragisnya, seperti Victor, sebagian besar anak muda kita ditinggalkan oleh orang tua mereka di hutan teknologi ini di mana tanpa pengawasan mereka mencoba mencari tahu siapa mereka. Dan, jangan salah. Media sosial dan influencer/pemberi pengaruh dengan senang hati mengambil peran sebagai Pencipta dan Penebus. Mereka dengan senang hati memberi tahu anak Anda siapa dan apa mereka.

Itu masalah. Itu masalah karena media sosial tidak bisa menjadi pengaruh yang kita serahkan kepada anak-anak kita. -Realitas -- yang diciptakannya adalah tampilan luar yang seringkali menipu; Ini adalah fatamorgana yang tidak menawarkan hubungan manusiawi yang bermakna yang kita butuhkan untuk berkembang menjadi pria dan wanita normal: hubungan tatap muka. Keyakinan Kristen yang dipegang teguh adalah bahwa Allah telah menciptakan kita baik jiwa dan tubuh – fisik dan non-fisik. Ini akan mendekati neo-Gnostisisme jika kita berpikir bahwa fisik dapat diabaikan dalam hubungan yang kita butuhkan dalam hidup ini. Jika kita membiarkan media sosial menjadi kekuatan dominan yang membentuk identitas, anak-anak kita akan kehilangan rasa kemanusiaannya - mereka telah kehilangan rasa kemanusiaannya.

Tidak, saya tidak sedang melebih-lebihkan. Generasi yang lebih tenggelam dalam teknologi daripada sebelumnya, juga merupakan generasi remaja yang tidak bahagia, kesepian, tertekan, dan cemas. Mereka tidak memiliki keterampilan sosial yang sangat penting, kurang berkembang secara emosional, dan tidak memiliki persahabatan yang dalam dan otentik yang sangat diperlukan untuk kehidupan normal. Ini adalah kesimpulan yang diambil dari semua jenis penelitian, bersama dengan peringatan bahaya peningkatan penggunaan media sosial. Bukti anekdotal bahkan menunjukkan bahwa ketika orang muda "bersosialisasi" dengan teman sebayanya, mereka sebenarnya tidak. Itu karena mereka masih terhubung ke media saat berada di ruang fisik terdekat dengan teman-temannya. Sepertinya mereka bahkan tidak tahu bagaimana menjalani persahabatan secara langsung.

Kecuali anak-anak dunia ini terbukti lebih cerdik dalam berurusan dengan generasinya sendiri daripada anak-anak terang, orang Kristen perlu memerhatikan. Media sosial – seperti Facebook, Twitter, Instagram, TikTok, YouTube, Snapchat, Omegle, Reddit, dll – telah membanjiri masyarakat kita seperti tsunami. Sebagian besar tidak siap untuk itu. Sebagai orang tua dan pendeta, saya akui sulit untuk mengetahui bagaimana menjaga kepala kita supaya terhindar dari masalah.

Jadi, apa yang bisa dilakukan? Saya memahami kesan kesalehan yang mengurangi solusi menjadi beberapa aturan sederhana: "Jangan pegang" dan "Jangan sentuh". Akan tetapi, saya tidak yakin krisis identitas dapat diselesaikan hanya dengan tidak memberikan ponsel kepada anak-anak kita, atau membatasi penggunaannya di meja makan dan waktu tidur. Itu tidak semuanya buruk dan beberapa di antaranya bahkan bisa berguna. Namun, ini agak dangkal, dan saya khawatir itu mungkin tidak memiliki kekuatan kesalehan yang sejati (lihat 2 Timotius 3:5).

Salah satu solusinya adalah mempersiapkan anak muda kita dalam ibadah umum. Kita perlu mengasuh dan menggembalakan mereka dengan penghargaan atas apa yang terjadi ketika umat Allah berkumpul. Mengapa demikian? Untuk alasan ini: ibadah umum adalah tempat di mana dalam komunitas kita bersekutu satu sama lain dan dengan Allah Pencipta dan Penebus kita melalui satu mediator, Allah-manusia Yesus Kristus. Dalam arti yang tertinggi, penyembahan melibatkan hubungan vertikal dan juga horizontal yang ke dalamnya kita diciptakan.

Ketika kita melakukan itu dengan iman, itu membentuk identitas. Itu karena dalam ibadah umum di mana kita yang dibaptis dalam nama Allah Tritunggal bertemu dengan-Nya, di mana dengan Firman dan Roh Dia menghancurkan fatamorgana dan tampilan luar hal-hal yang sementara, di mana rahasia hati dibeberkan yang mengungkap identitas kita, sifat berdosa, dan di mana melalui Injil kita diciptakan kembali dalam persekutuan dengan Yesus. Sederhananya, ibadah umum adalah di mana realitas Allah menghilangkan realitas kita yang menyimpang, seperti pengusiran bayangan oleh matahari terbit melalui kemuliaan yang bersinar di wajah Yesus Kristus. Orang yang menyembah dalam Roh dan kebenaran adalah orang yang identitasnya disesuaikan dengan hal-hal yang kekal.

-’Sekali lagi,' menunjukkan tentang pemusnahan hal-hal yang dapat digoyahkan, yaitu semua yang sudah diciptakan, supaya hal-hal yang tidak digoyahkan dapat tinggal tetap. Karena itu, setelah kita menerima kerajaan yang tidak tergoyahkan, marilah kita menunjukkan rasa syukur dengan mempersembahkan ibadah yang layak kepada Allah, yang disertai rasa hormat dan penuh kekaguman, sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.- (Ibrani 12:27-29, AYT). (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : ChurchLeaders.com
URL : https://churchleaders.com/youth/youth-leaders-articles/390116-igeneration-and-identity.html
Judul asli artikel : iGeneration and iDentity
Penulis artikel : Kyle Borg