Apps4God

Submitted by admin on Thu, 06/30/2022 - 11:21

Profesor yang mengajari saya bagaimana menafsirkan Perjanjian Baru mengawali kelas pertama kami dengan kisah Agassiz dan Ikan. Agassiz adalah seorang ahli zoologi Harvard yang terkenal karena menugaskan seorang mahasiswa, yang bersemangat dengan penelitian lanjutan, untuk menatap seekor ikan -- selama tiga hari! Apa yang pada awalnya tampak seperti pekerjaan membosankan yang sia-sia menjadi pelajaran yang sangat berharga: untuk melihat dan memahami secara mendalam, seseorang harus "melihat, melihat, melihat." "Tataplah ikan" menjadi sesuatu dari moto seminari saya.

Berkat era digital saat ini, kita tidak melakukan hal seperti itu lagi. Pada saat yang sama, kita semakin kekurangan otot kognitif untuk melakukan analisis tingkat Agassizian. Seperti yang dikhawatirkan oleh para penulis seperti Maryanne Wolf, "banjir informasi singkat setiap hari" menciptakan ilusi bahwa kita terinformasi dengan baik dan, secara bersamaan, hal tersebut mencekik kapasitas berpikir kritis kita.

Para pendeta seharusnya sangat menyadari bagaimana era digital mengubah jemaat kita dan diri kita sendiri. Ada keuntungan memiliki informasi yang luas, berita terbaru, dan akses virtual ke orang lain di ujung jari kita. Tetapi ada bahayanya juga. Menurut saya kerugian dari media sosial dan informasi digital yang melimpah lebih banyak dibandingkan keuntungannya.

Berikut empat alasan saya membatasi waktu saya di internet dan tidak menggunakan media sosial sama sekali.

1. Panggilan untuk Mengawasi Diri Sendiri

Paulus mengingatkan Timotius tentang hubungan antara karakter dan pemberitaan Injil: "Perhatikan dengan sungguh-sungguh bagaimana kamu hidup dan apa yang kamu ajarkan" (1Tim. 4:16, AYT). Mengawasi diri sendiri berarti memperhatikan perilaku Anda ("melatih diri untuk beribadah") dan menghindari gangguan dari "cerita takhayul dan dongeng nenek tua" (1Tim. 4:7, AYT).

Keberdosaan saya membuat saya sangat rentan untuk menyamakan keberhasilan pelayanan dengan kehadiran dalam ibadah Minggu sehingga godaan untuk menghitung "pengikut" dan "suka" di media sosial membuat saya takut. Mungkinkah Instagram atau Twitter hanya memperkuat keakuan diri sendiri padahal saya dipanggil untuk melupakan diri sendiri dalam melayani orang lain (Mat. 20:26)? Lalu ada "cerita takhayul dan dongeng nenek tua" -- lubang kelinci tak berujung penggunaan internet yang mengarah pada distraksi (dampak teringan) dan membuat "kewaspadaan pikiran" yang dibutuhkan untuk pelayanan menjadi sulit dilakukan (2Tim. 4:5).

2. Panggilan untuk Memberitakan dan Mengajarkan Firman

Panggilan untuk terus mengawasi "ajaran" kita (1Tim. 4:16) tidak berarti para pendeta hanya mempelajari Alkitab. Ini berarti, seperti yang ditulis George Herbert tentang pendeta, bahwa "keutamaan dan puncak pengetahuan pendeta terdiri atas buku dari segala buku, gudang dan panduan akan kehidupan dan penghiburan, yaitu Kitab Suci. Di sana dia menyerap hal-hal dan hidup."

Pesan Injil itu sederhana, tetapi Alkitab tidak. Isinya mencakup berabad-abad, berbagai genre, dan berbagai bahasa kuno. Dalam tradisi Anglikan saya, reformator Thomas Cranmer memanggil kita untuk memiliki kebiasaan membaca yang disiplin: untuk "mendengar, membaca, menandai, dan mencerna dalam hati" Firman Allah.

Internet melatih kita untuk membaca sekilas, menggeser, dan -- karena mengandalkan penyimpanan di cloud -- melupakan informasi yang kita terima. Jika para pendeta tidak berusaha sungguh-sungguh untuk mempelajari Firman Allah secara mendalam -- "mengguncang setiap cabang tanaman dan membalik setiap daun," seperti yang diajarkan Luther -- lalu siapa yang akan melakukannya?

3. Panggilan untuk Memahami Jemaat dan Dunia

Bagi pendeta yang dapat menggunakan media sosial dengan bijak untuk mengikuti tren sosial dan berita yang ada, hal itu dapat membantu dalam mengontekstualkan dan menerapkan Injil secara efektif. Tetapi kita harus berhati-hati tentang bagaimana "pengetahuan" tentang dunia atau jemaat, yang diperoleh terutama melalui sarana digital, bisa jadi bersifat dangkal dan sesat.

Unggahan media sosial dan siklus berita yang terus bergulir memberi kita informasi tentang intrik politik terbaru, peristiwa terkini, dan perceraian Hollywood. Akan tetapi, mereka tidak mengungkapkan akar penyakit mendalam yang ada di balik nafsu akan kekuasaan, tindakan kekerasan, atau kehausan akan cinta -- hal tersebut justru bisa dilakukan oleh novel-novel seperti Crime and Punishment. Seorang anggota gereja dapat menandai Anda di unggahan tentang kurikulum sekolah yang mengalami pergeseran ideologi tentang gender. Bacaan singkat ini tidak akan mempersiapkan Anda untuk memahami masalah yang lebih dalam yang sedang terjadi seperti jika Anda membaca The Rise and Triumph of the Modern Self karya Carl Trueman.

Pendeta harus memahami alasan terjadinya suatu hal. Paulus perlu mengetahui bukan hanya kenyataan bahwa beberapa jemaat di Korintus tidak memercayai kebangkitan (1Kor. 15:12), tetapi juga alasan kompleksnya -- sebut saja, paham gnostik yang menentang kebangkitan tubuh. Oleh karena itu, ajaran Paulus tidak hanya menyajikan bukti saksi mata tentang kebangkitan (15:1-11), tetapi juga menyerang pemikiran yang mendasari bahwa tubuh itu buruk (15:35-49).

Dunia tempat kita menggembalakan dan jemaat yang kita gembalakan sangatlah kompleks. Untuk memahaminya, para pendeta perlu membaca sumber dengan perlahan dan teliti, diikuti dengan kesabaran dan waktu pribadi bersama jemaat. Jalur informasi digital tidak unggul dalam hal ini.

4. Panggilan untuk Lambat Berbicara dan Cepat Mendengar

Platform media sosial seorang pendeta dapat berubah menjadi kolom opini. Anggota gereja mungkin mengharapkan Anda untuk mengkaji sebuah berita dalam hitungan jam setelah berita itu ditayangkan, dan melakukannya dalam konteks teologis dan penuh keyakinan. Masalahnya di sini ada dua. Pertama, pendeta umumnya tidak memiliki dasar dalam ilmu politik, hukum, statistik, atau jurnalisme. Kedua, tuntutan media sosial untuk memberikan opini dengan cepat, tidak memberikan waktu yang cukup untuk menyelidiki, berpikir kritis, dan berdoa. Pendeta, saya akan membebaskan Anda dari tekanan dan jebakan itu. Seperti yang dinasihatkan Yakobus, mari kita contohkan kepada jemaat kita bagaimana "cepat untuk mendengar [dan] lambat untuk berbicara" (Yak. 1:19, AYT).

Ada alasan bagus untuk menggunakan media sosial. Pendeta dapat memberitakan Injil di mana pun, sambil terus mendapat informasi tentang apa yang terjadi di dunia dan jemaat mereka. Akan tetapi, semakin kita mengerti bahwa cara baru radikal berinteraksi dengan informasi ini membentuk diri kita, sebaiknya kita juga mengingat panggilan utama kita dan masuk atau keluar dari media sosial sesuai kebutuhan. (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Gospel Coalition
Alamat situs : https://thegospelcoalition.org/article/pastors-social-media
Judul asli artikel : 4 Reasons Pastors Should Consider Quitting Social Media
Penulis artikel : Sam Ferguson