Apps4God

Submitted by admin on Fri, 11/18/2016 - 12:00

Ketika masih kecil, saya membangun seluruh dunia di dalam kamar tidur saya dengan menggunakan Lego. Untuk ulang tahun saya yang ke-10, saya meminta lebih banyak Lego untuk memperluas kekuatan pembangunan saya. Saya ingin menaklukkan dunia yang lebih besar dan lebih baik. Anak saya baru saja berulang tahun yang ke-10. Hadiah kejutan untuknya adalah sebuah dunia virtual di Minecraft Realms, sebuah ruang digital yang hampir tak terbatas baginya untuk berbagi dengan teman-teman dekatnya. Dia juga mengajak saya bermain dengannya di sana. Kami mengadakan kompetisi membangun (saya kalah). Dia menciptakan rumah hantu digital yang sangat menakutkan (saya sampai kaget dibuatnya). Ia membimbing saya layaknya seorang jenderal dalam bermain permainan-permainan "sudden-death" (sejenis kompetisi di mana permainan akan berakhir ketika salah satu kompetitor lebih unggul dibanding kompetitor lainnya - Red.) di server publik (saya mati lebih cepat daripada yang dia bayangkan). Pada akhirnya, mainan anak saya akan menjadi peralatannya. Kemudian, peralatan itu akan membentuk kehidupan sehari-harinya di rumah dan di tempat kerja. Hal itu bahkan akan membentuk imannya. Mainan-mainan itu mungkin akan menjadi berhalanya. Sesering apa pun hal ini dikatakan sebelumnya, hal ini tetap perlu dinyatakan kembali. Bahwa teknologi-teknologi baru adalah tantangan dan kesempatan terbesar bagi orang-orang beriman.

Tidak Ada Sesuatu yang Baru di Bawah Matahari

Martin Luther diduga menganggap percetakan sebagai "tindakan ekstrem dan tertinggi dari kasih karunia Tuhan, di mana urusan Injil menjadi terdorong maju ke depan". Luther bersikap bijaksana, tetapi pendekatannya terhadap teknologi masih tidak menunjukkan bagaimana hal itu membentuk pengalaman kita terhadap dunia. Sebagai seorang Kristen seperti Luther, saya percaya teknologi telah menjadi bagian dari rencana Allah sejak semula. Sebelum kejatuhan, Tuhan mengatakan kepada Adam untuk menguasai taman (Eden), sebuah perintah yang membutuhkan alat dan teknologi, menurut John Dyer. Bahkan, Yesus sendiri digambarkan sebagai seorang tekton, kata yang terkait dengan istilah kita untuk "teknologi". Meski begitu, ketika berbicara tentang teknologi, orang-orang Yunani justru kurang tertarik pada alat-alat dibandingkan keterampilan orang-orang yang menggunakan peralatan tersebut. Dalam 20 tahun terakhir, laju perubahan teknologi telah menyebabkan kita menjadi sulit untuk menguasai perangkat kita sebelum perangkat-perangkat tersebut digantikan oleh perangkat-perangkat yang baru. Selama berabad-abad, teknologi kita telah menjadi lebih maju, mulai dari codex Romawi menjadi pembuatan kertas China, lalu menjadi mesin ketik German, kemudian menjadi telegraf, lalu telepon, kemudian televisi, menjadi komputer dan jaringan, hingga kemudian menjadi internet of things. Sejarah singkat teknologi apa pun bisa mulai terasa seperti silsilah dalam Alkitab. Abraham adalah ayah Ishak. Ishak adalah ayah Yakub. Dan, seterusnya sampai kita menjumpai Yesus.

Lagu Baru dari Teknologi

Jika kami menyimak dengan saksama terhadap teknologi kami, saya dan anak saya dapat mendengar suara dari nabi-nabi mereka. Mereka menyanyikan sebuah lagu baru dari surga yang baru dan bumi yang baru dan mesias baru yang muncul dari singularitas (dengan adanya lembaga seperti Singularity U, tidak sulit untuk membayangkan penyembahan teknologi menjadi agama yang dapat diterima dalam budaya kita). Sebagai seorang Kristen, saya bergidik membayangkan penyembahan teknologi, tetapi saya juga ingin mengetahui seperti apa jadinya dialog antaragama antara seorang Kristen dan seorang Singularis Transhuman. Bahkan, jika kita tidak memberhalakan teknologi, sebagian besar dari kita, seperti halnya Martin Luther, mengharapkan teknologi untuk membantu kita menyebarkan ide-ide yang kita punya dan memperluas pengaruh yang kita miliki. Namun, kita menjadi seperti lebih melayani perangkat kita dibanding mereka melayani kita. Ini adalah kesimpulan yang dicapai oleh Howard Gardner dan Katie Davis dalam buku terbaru mereka "The App Generation" (Generasi Aplikasi - Red.). Dalam penelitian sosiologisnya, mereka mendapati bahwa, "aplikasi yang memungkinkan atau mendorong kita untuk mengejar kemungkinan-kemungkinan baru adalah 'aplikasi yang memampukan'. Sebaliknya, ketika kita membiarkan aplikasi untuk membatasi atau menentukan prosedur, pilihan, dan tujuan kita, kita menjadi 'bergantung pada aplikasi'." Sayangnya, mereka juga mendapati bahwa lebih banyak orang yang 'bergantung pada aplikasi' dibanding 'dimampukan oleh aplikasi'.

Jenderal-Jenderal dari Teknologi

Sebastian Thrun, CEO dari Audacity dan pendiri dari Google X menentang perspektif ini pada Festival Aspen Ideas 2014. Dia berkata, "Saya percaya teknologi tidak menggeser keyakinan moral kita. Moral kita bersifat mandiri. Teknologi menggeser apa yang bisa kita lakukan ... Keyakinan moral mendasar tentang martabat kehidupan manusia dan rasa hormat, hal-hal ini akan dimediasi oleh teknologi. Dan, teknologi akan memberikan kesempatan yang lebih baik bagi orang-orang untuk mencapai tujuan-tujuan ini." Orang-orang akan 'dimampukan oleh aplikasi'. Thrun benar dalam beberapa hal. Bagi para CEO di Silicon Valley, teknologi akan memberdayakan keyakinan moral para penciptanya. Sebagai salah satu pencipta, Thrun sendiri tidak melihat ancaman terhadap keyakinan moral. Pada konferensi yang sama, Ping Fu, Chief Strategy Officer (CSO) untuk sistem 3D menempatkan hal tersebut demikian. "Saya percaya kompas moral kita sering memengaruhi teknologi apa yang kita kerjakan." Saya akan melangkah lebih jauh dan berharap menemukan kompas moral setiap pencipta yang tertanam dalam ciptaannya. Keyakinan Steve Jobs dalam kontrol dan minimalisme menuntun kepada penciptaan taman berdinding yang indah dari ekosistem Apple. Keyakinan Mark Zuckerberg dalam "The Hacker Way" (Cara Hacker - Red.) membangun sebuah platform yang terbuka dan terhubung yang tidak selalu menghargai nilai privasi sebanyak yang dihargai beberapa orang. Dalam bukunya yang paling kontroversial, The Abolition of Man, C. S. Lewis menyadari keinginan kita untuk menaklukkan alam melalui teknologi, untuk membentuk dunia kita, diri kita, dan moralitas kita. Pada tahun 1943, ia menulis,

"Setiap kekuasaan baru yang dimenangkan oleh manusia adalah kekuasaan atas manusia juga. Setiap kemajuan membuat dirinya lebih lemah serta lebih kuat. Dalam setiap kemenangan, selain menjadi jenderal yang berkemenangan, ia juga seorang tahanan yang mengikuti kereta kemenangan. Pertempuran memang akan dimenangkan. Akan tetapi, siapa, tepatnya, yang akan memenangkannya? Sebab, kekuatan manusia untuk membuat bagi dirinya apa yang sesuai dengan diharapkannya juga berarti, seperti yang telah kita lihat, kekuatan beberapa orang untuk membuat orang lain menjadi apa yang sesuai dengan yang mereka harapkan."

Biarkan Iman, Bukan Perangkat, yang Menentukan Siapa Anda

Di dalam setiap kemenangan, moralitas dari para jenderal akan menemukan jalannya menuju teknologi yang membentuk kehidupan para tahanan. Mainan kita menjadi peralatan kita. Peralatan kita dapat menentukan identitas dan moralitas kita. Lebih dari sebelumnya, kita memerlukan kebijaksanaan iman kuno yang telah teruji waktu, yang bebas dari peningkatan tahunan dan tren konsumen. Konsumen bukanlah tahanan, dan pengembang bukanlah jenderal. Namun, kita semua adalah hamba. Tolaklah peran jenderal dan tahanan. Peran seorang Kristen bukanlah untuk menciptakan dunia-dunia baru, melainkan untuk melayani Sang Pencipta di dunia ini. Teknologi memberikan cara-cara baru untuk melayani, tetapi teknologi itu akan menjadi berhala ketika kita membiarkannya memberitahukan kepada diri kita siapa diri kita. (t/N. Risanti)

Diambil dari:
Nama situs: Patheos
Alamat URL: http://www.patheos.com/blogs/thehighcalling/2014/08/will-technology-shape-your-identity-and-your-faith
Judul artikel: Will Technology Shape Your Identity and Your Faith?
Penulis artikel: Marcus Goodyear
Tanggal akses: 14 November 2016