Saat kebanyakan dari kita memikirkan tentang kecerdasan buatan (Inggris: artificial intelligence) (AI), kita cenderung memikirkan tentang dampak merusak yang diakibatkan oleh otomatisasi dalam ketenagakerjaan atau bahkan tentang bagaimana alat-alat ini dapat memengaruhi keluarga kita. Pertanyaan-pertanyaan etis seputar AI tidak terbatas jumlahnya dan kompleks. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menuntut perhatian gereja pada masa kini karena keputusan-keputusan ini tidaklah dibuat dalam kehampaan. AI memengaruhi komunitas kita dan, yang terpenting, orang-orang yang diciptakan seturut gambar Allah sendiri.
Apa Artinya Menjadi Manusia?
Teknologi AI mendorong banyak aspek dari masyarakat dan ekonomi modern kita. Teknologi-teknologi itu memengaruhi feed media sosial kita, platform komunikasi, sistem perbankan, manufaktur, kemampuan militer kita, dan begitu banyak hal lainnya. Banyak dari kenyamanan yang kita nikmati, khususnya terkait personalisasi berbagai teknologi, didorong oleh kecerdasan buatan dalam bentuk tertentu dan alat-alat terkait lainnya.
Menimbang betapa pesat dan tanpa ragunya kita mengadopsi banyak dari alat-alat ini (seperti AI) ke dalam hidup kita, adalah wajar jika kita takut terhadap cepatnya perkembangan-perkembangan ini dan bagaimana mereka memengaruhi kita. Di balik sebagian besar, atau bahkan semua, pertanyaan etis paling mendesak pada masa kini adalah pertanyaan tentang apa artinya menjadi manusia.
Entah kita sedang berbicara tentang teknologi, seksualitas, atau perkembangan medis, jawaban kita terhadap pertanyaan tersebut sangat penting terhadap bagaimana kita berpikir secara etis tentang tantangan-tantangan ini. Itu juga akan mengubah cara kita menjawab pertanyaan yang Yesus tanyakan dalam Lukas 10:29 (AYT), "Dan, siapakah sesamaku manusia?"
Siapakah Sesamaku Manusia?
Gereja harus mampu menjawab pertanyaan abadi ini, khususnya menimbang betapa besarnya kehidupan kita telah terkoneksi secara digital sekarang ini. Semakin mudah bagi kita untuk melihat diri dan sesama kita sekadar sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu atau sebagai mesin untuk digunakan, dibandingkan sebagai penyandang gambar Allah yang mahakuasa.
Lebih dari sebagian besar teknologi yang kita gunakan pada masa kini, AI menantang kita untuk memikirkan secara mendalam tentang apa artinya menjadi manusia. Ini telah menjadi pertanyaan paling mendasar dalam seluruh sejarah manusia. Namun, kejelasan khusus diperlukan pada masa kini karena ambiguitas yang mengitari sifat manusia dapat menyebabkan bencana dalam penggunaan teknologi kita.
Ironisnya, kita sering kali mengembangkan dan menggunakan alat-alat AI dalam cara-cara yang tidak memanusiakan sesama kita dan memanusiakan mesin-mesin kita. Bahkan, kita menamai mesin-mesin kita dan memberi mereka kemampuan yang mirip dengan manusia! Pada saat yang bersamaan, kita memperlakukan sesama penyandang gambar Allah secara lebih rendah dari manusia dengan membiarkan mereka dieksploitasi demi keuntungan kita. Mereka adalah sekadar masalah yang perlu dipecahkan atau avatar yang dapat diserang.
Alih-alih berusaha mengasihi Allah dan sesama kita di atas segala sesuatu, kita memandang orang lain sebagai sarana untuk mencapai tujuan kita sendiri.
Apakah Gambar Allah Lebih dari Sekadar Apa yang Kita Lakukan?
Jadi, apa artinya menjadi manusia di tengah era mesin ini? Jawaban terhadap pertanyaan ini sangat beragam, sebab orang mendekati pertanyaan mendasar ini dari berbagai perspektif dan sistem keyakinan.
Banyak orang Kristen dalam sejarah melihat keunikan manusia dalam kemampuan kita untuk memikirkan berbagai pemikiran kompleks dan bertindak sebagai makhluk rasional. Meski manusia memiliki (dan kemungkinan akan selalu memiliki) kecerdasan superior dan kemampuan bernalar, pandangan tentang nilai manusia ini didasarkan pada sesuatu yang dilakukan oleh manusia dibandingkan dengan jati diri kita.
Namun, kita memandang gambar Allah sebagai status yang dianugerahkan secara ilahi, suatu status yang tidak didasarkan pada kegunaan atau fungsi kita, ini akan secara radikal mengubah cara kita mendekati berbagai pertanyaan yang terkait dengan martabat manusia. Itu memberikan visi yang menarik akan nilai dan kelayakan dari setiap umat manusia, bukan sekadar orang-orang yang dianggap berharga oleh masyarakat kita.
Etika AI
Pertanyaan-pertanyaan terkait AI mencakup pemindaian wajah dan privasi, otomatisasi dan nilai kerja, media sosial dan kebenaran, perkembangan medis dan martabat, teknologi militer, dan keadilan. Orang Kristen yang baik dan percaya Alkitab kemungkinan akan tiba pada kesimpulan yang berbeda tentang beberapa masalah tersebut. Akan tetapi, semua orang Kristen seharusnya menyadari bahwa salah satu prinsip etis terpenting dalam perdebatan ini adalah pengajaran Kitab Suci tentang martabat manusia dan status pemberian Allah kepada kita sebagai penyandang gambar Allah. Martabat milik sesama kita yang dipertaruhkan tidaklah sedikit dalam hal ini.
Banyak orang mengasumsikan bahwa segala kemajuan teknologi itu baik. Mengapa gereja perlu menimbang masalah tersebut? Namun, jika kita percaya bahwa Injil memengaruhi setiap wilayah dalam kehidupan kita dan bahwa setiap umat manusia diciptakan dalam gambar Allah (Kej. 1:26-28), kita harus menanggapi jenis-jenis pertanyaan etis ini. Dan, salah satu cara utama kita untuk melakukannya adalah dengan menyadari keagungan Allah dan martabat yang telah dikaruniakan-Nya kepada semua orang.
Melangkah Maju
Saat kita membicarakan pertanyaan-pertanyaan menantang ini, mari mengingat bahwa Allah tidak memanggil kita untuk bernostalgia tentang masa yang telah berlalu, suatu masa ketika hidup tampak lebih sederhana. Sebaliknya, Dia telah memperlengkapi kita untuk melangkah maju dengan firman-Nya yang tidak pernah berubah. Tidak satu hal pun yang kita hadapi pada masa kini yang mengejutkan atau melengahkan Tuhan. Dia adalah Sang Pencipta dan Penopang segala hal, termasuk manusia sebagai penyandang gambar-Nya yang unik (serta teknologi yang kita ciptakan).
Kita dapat melangkah maju dengan penuh keyakinan dalam menanggapi tantangan etis di hadapan kita saat kita berpegang teguh pada kebenaran-kebenaran mendasar ini. (t/Odysius)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | Radical |
Alamat situs | : | https://radical.net/article/why-christians-should-care-about-artificial-intelligence |
Judul asli artikel | : | Why Christians Should Care about Artificial Intelligence |
Penulis artikel | : | Jason Thacker |