Apps4God

Submitted by admin on Thu, 07/21/2022 - 11:47

Dunia kita berada di ambang sesuatu yang disebut beberapa orang sebagai Revolusi Industri 4.0, yang dimotori oleh teknologi yang meruntuhkan pembedaan antara fisik dan digital. Generasi sebelumnya hanya bisa membayangkan inovasi seperti kecerdasan buatan, realitas virtual, dan peningkatan aspek biologis, yang memperluas pengalaman manusia jauh melebihi kemampuan alaminya. Namun, dewasa ini, banyak dari perkembangan tersebut dapat dijangkau.

Bahkan, di antara para elite teknologi, tidak ada kesepakatan tentang pertanyaan-pertanyaan etis kompleks yang dimunculkan oleh inovasi-inovasi ini ataupun hasil yang kepadanya kita mungkin dibawa. Orang-orang optimis seperti CEO Facebook, Mark Zuckerberg, dan pendiri LinkedIn, Reid Hoffman, memprediksikan suatu masa depan tempat semua penyakit dapat disembuhkan dan semua tantangan social dapat ditangani. Sebaliknya, CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk, meyakini bahwa manusia bisa saja menyebabkan penghancuran diri dengan menciptakan teknologi yang tidak dapat kita kendalikan sepenuhnya.

Douglas Estes, asisten profesor Perjanjian Baru dan teologi praktika di South University, Columbia, sekaligus penulis buku Braving the Future: Christian Faith in a World of Limitless Tech ("Menantang Masa Depan: Iman Kristen di Tengah Dunia dengan Teknologi Tak Terbatas" - Red.), menyebut dirinya sebagai seorang optimis teknologi. Dia melihat potensi besar dari masa yang akan datang, asalkan orang Kristen berperan aktif membentuknya. Braving the Future merupakan buku panduan untuk menolong orang Kristen memahami inovasi-inovasi yang akan datang sekaligus panggilan kepada orang percaya untuk mengatakan kebenaran yang relevan, berdasar, dan penuh pengharapan dalam masyarakat yang berubah-ubah.

Baru-baru ini, Estes berbicara dengan CT terkait pandangannya terhadap inovasi-inovasi yang muncul, responsnya terhadap pihak-pihak yang skeptis, dan bagaimana orang Kristen dapat berpartisipasi dalam percaturan teknologi.

Dalam pandangan Anda, banyak teknologi yang dapat merevolusi cara hidup kita, seperti mesin otonom dan penyuntingan gen, akan tiba, entah kita suka atau tidak. Apa yang akan Anda katakan kepada orang yang tidak tertarik mengadopsi teknologi tersebut?

Bagi mereka yang sangat skeptis, saya akan bilang bahwa tantangan kita sebagai orang percaya adalah bahwa kita ditempatkan di dalam dunia yang jelas-jelas bukan milik kita. Dan, dunia tersebut akan terus maju, entah kita suka atau tidak. Tugas kita bukan untuk duduk di takhta Allah dan memutuskan apa yang harus dan tidak harus dilakukan oleh dunia, melainkan untuk berusaha sebaik mungkin di lingkungan tempat Allah menempatkan kita.

Teknologi hanya bisa berguna untuk kebaikan saat ia memperkuat sesuatu yang baik, yang hanya berasal pada sikap hormat akan Allah, bukan pada diri kita sendiri.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Dengan begitu, saya akan mencoba membawanya kembali ke dalam konteks misi. Jika Anda pergi dan melayani ke luar negeri sebagai misionaris, Anda tidak mempermasalahkan budayanya. Jika Anda mempermasalahkannya, Anda akan membuang banyak waktu. Anda hanya akan berusaha bekerja sama dengan budaya yang ada untuk mengarahkan orang-orang kepada Kristus sebaik yang Anda bisa.

Untuk orang yang sangat menentang banyak hal, saya rasa tidak ada kewajiban dari iman Kristen mereka untuk berinteraksi dengan teknologi tertentu jika mereka tidak mau atau jika mereka tidak merasa dituntun untuk melakukannya. Setiap orang di antara kita punya kebebasan pribadi kita. Jika seseorang berkata kepada saya, "Saya sudah mendoakannya, dan keyakinan saya adalah bahwa kami tidak akan ikut terlibat dalam hal-hal teknologi ini," saya tidak melihatnya sebagai masalah. Saya rasa mereka memiliki kebebasan dalam Kristus untuk melakukannya.

Namun, jika ada sesuatu yang dikejar oleh masyarakat kita yang kita rasa itu akan berbahaya, bukankah seharusnya orang Kristen terlibat dalam membentuk budaya tersebut melebihi pilihan pribadi kita?

Dalam konteks yang lebih besar, ya, itulah salah satu poin besar mengapa saya menulis buku itu. Sebagai orang Kristen, kita ingin agar dapat lebih maju daripada teknologi walau hanya selangkah, untuk dapat mulai membicarakan tentang teknologi lebih awal.

Pertanyaannya: pada titik apa kita memulai percakapan tentang teknologi, tentang hal-hal seperti penyuntingan gen, dan tentang beberapa dari produk-produk teknologi masa depan ini? Diskusi semacam ini, kalau kita bisa mulai melakukannya sejak sekarang, akan menolong kita untuk memiliki persiapan yang sedikit lebih baik.

Menurut para pegiat teknologi, banyak dari inovasi ini, seperti mobil otomatis dan kecerdasan buatan (AI), sudah ada di depan mata. Jadi, apakah kita punya kemewahan waktu untuk mendiskusikannya?

Ya, waktu memang pendek. Sejak saya menulis buku itu, setidaknya ada dua peristiwa besar yang terjadi. Pertama, Amerika Serikat sudah mulai memakai teknologi pemindai wajah di bandara, dan tingkat keberhasilannya mencapai 85% pada percobaan pertama. Kedua, saya melihat suatu pabrik robot Jepang memiliki robot yang bisa memasang drywall (papan panel pengganti tembok yang terbuat dari gipsum - Red.) di rumah-rumah, yang tentunya akan memengaruhi seluruh isu tentang pekerjaan.

Seberapa cepat kita akan melihat robot sedang memasang drywall? Jelas bukan besok, tetapi jika Anda berpikir bahwa ini akan terjadi satu generasi ke depan, itu salah.

Jadi, mungkin itu adalah bagian perbincangan yang harus terjadi -- menanamkan rasa akan keadaan yang mendesak tentang teknologi.

Benar sekali. Tampaknya, menurut pendapat saya, perbincangan awal itu terjadi setelah banyak dari teknologi terkini diluncurkan. Jika kita bisa sedikit lebih awal, itu akan sangat baik bagi semua orang.

Dalam buku Anda, Anda membahas tentang dua filosofi primer dalam melihat peranan teknologi dalam masyarakat. Dapatkah Anda menjelaskan paradigma ini dan apa yang membedakannya?

Pada intinya, kedua hal tersebut adalah dua ujung kutub dari cara kita memandang bagaimana teknologi memengaruhi masyarakat. Anda bisa menganggap ini sebagai kontinum dari sesuatu yang saya sebut pandangan instrumental dan determinis. Pandangan instrumental memandang teknologi sebagai alat yang kita pakai atau tidak pakai, sedangkan pandangan determinis memandang teknologi sebagai nilai yang melekat dalam dan pada teknologi itu sendiri, dan bahwa ketika teknologi diluncurkan, ia memiliki pemikiran sendiri dan menciptakan efek di luar kendali manusia.

Banyak pemikir Kristen cenderung terjatuh ke dalam sisi determinis dari kontinum tersebut; mereka cenderung meyakini bahwa begitu teknologi berada di luar kotak, ia punya dampak yang tidak bisa Anda kendalikan. Saya lebih cenderung memandang teknologi dari pandangan instrumental, sebagai alat. Kuasa teknologi terbatas pada pemakaian kita. Saya rasa kita tidak dapat melepaskan tanggung jawab pribadi dari persamaan itu.

Dapatkah Anda memakai contoh teknologi yang spesifik untuk menolong kami agar lebih mengerti dua perspektif tersebut?

Izinkan saya memakai contoh robot pintar yang dapat memasang drywall. Pandangan instrumental akan memandang dampak dan efek dari robot tersebut murni sebagai sebuah alat yang kita pilih untuk dipakai atau tidak dipakai. Jika ada robot yang bisa menolong saya memasang drywall di rumah, sebagai manusia, saya bebas memilih apakah saya akan memakainya atau tidak.

Daya pasar dan hal-hal sejenisnya penting dalam sudut pandang tersebut. Tekanan sosial juga penting dalam padangan tersebut. Namun, faktor penentunya adalah apa yang saya sendiri pilih untuk dilakukan oleh robot itu. Dan, itu mencakup apakah saya akan memprogram ulang robot itu -- seperti dalam film "Frank and Robot" -- untuk mencuri, misalnya. Itu masih di bawah padangan instrumental.

Pandangan determinis melihat dari arah sebaliknya. Ia berpendapat bahwa dalam beberapa hal, saya tidak akan punya pilihan selain memakai robot itu karena tekanan pasar dan tekanan sosial beserta seluruh faktor lainnya. Mereka pada akhirnya akan membuat skenario ketika jika saya ingin memperbaiki sesuatu di rumah, hal itu harus dilakukan oleh robot. Tidak ada opsi lain.

Dari sudut pandang instrumental, robot drywall memang masuk akal, tetapi bagaimana dengan teknologi pemindai wajah di bandara yang Anda sebutkan di awal tadi? Itu terdengar seperti teknologi yang tidak memberi kita pilihan tentang pemakaiannya, terlepas dari pilihan kita untuk membatalkan penerbangan.

Pada tingkat yang sederhana, benar, Anda bisa saja menghindari penerbangan. Namun, saya rasa itu terlalu menyederhanakan perkara. Di Amerika atau demokrasi lain, mungkin saja -- meskipun sulit -- masih ada sejumlah orang yang dapat memutuskan bahwa pemindaian wajah bukanlah sesuatu yang kita inginkan berada di negara kita. Mungkin saja ada cukup banyak orang yang menggembar-gemborkan ide itu sehingga hal itu bisa dikurangi atau dikesampingkan. Seperti halnya dengan pemindai tubuh di bandara -- teknologi itu sedikit diubah untuk meredakan protes massa. Dalam masyarakat yang bebas, instrumentalisme masih berlaku. Namun, saat Anda berada dalam masyarakat yang kurang bebas -- misalnya di Tiongkok dengan cara mereka memakai pemindai wajah -- itu akan menjadi semakin berat.

Pada akhirnya, pandangan instrumental dan determinis bukanlah pendekatan manusia terhadap teknologi. Sebaliknya, keduanya merupakan filosofi teknologi yang berusaha menjelaskan tentang bagaimana teknologi memengaruhi kita, bukan tentang bagaimana kita memakainya. Pandangan instrumental berpendapat bahwa teknologi ada di tangan kita. Kita bisa memakainya atau tidak. Sementara itu, pandangan determinis berpendapat bahwa teknologi mengubah kita dan memaksakan penggunaannya kepada kita.

Anda menyebut diri Anda sebagai optimis teknologi. Mengapa Anda memiliki harapan tentang bagaimana teknologi akan mengubah masyarakat? Apa potensi negatifnya?

Keindahan teknologi adalah ia punya kemampuan untuk memperkuat kinerja manusia. Jika kita punya keinginan untuk menyembuhkan orang lian, teknologi dapat meningkatkan kemampuan kita untuk melakukannya. Jika ia dipakai untuk hal baik, teknologi bisa menghasilkan banyak hal baik bagi masyarakat. Namun, dikarenakan efek penguatannya itu, teknologi juga bisa dipakai untuk hal jahat. Karena komitmen teologis, saya percaya bahwa hasrat alami kita adalah untuk menentang kebaikan Allah. Teknologi memperkuat hasrat itu.

Saya rasa, semua teknologi baru tersebut akan dipakai untuk merusak kebaikan dunia ini dan melawan cara yang Allah kehendaki untuk kita memakainya. Kembali ke Kejadian, beberapa penggunaan teknologi mula-mula bukan untuk kepentingan manusia maupun Allah.

Teknologi selalu dipakai dengan cara yang punya sifat baik dan jahat. Manusia menciptakan sesuatu dengan berharap ia akan berguna untuk kebaikan. Segera setelah itu, seseorang menggunakan hal serupa untuk sesuatu yang jahat. Itu adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan di dunia ini. Saya tidak melihat cara untuk menghindarinya. Anda tidak dapat berada di dunia tanpa teknologi karena segala sesuatu yang pernah kita ciptakan, budaya dan peradaban kita, berdasar pada teknologi.

Teknologi hanya bisa berguna untuk kebaikan saat ia memperkuat sesuatu yang baik, yang hanya berasal pada sikap hormat akan Allah, bukan pada diri kita sendiri.

Apa poin utama yang Anda ingin pembaca bawa pulang dari Braving the Future?

Apa pun yang terjadi di dunia, Allah tidak berubah. Dialah gunung batu yang bisa kita jadikan pegangan, bahkan di tengah perubahan budaya. Dunia kita telah melalui berbagai revolusi budaya dan perubahannya serta perubahan sains dan revolusi industri. Tidak ada hal yang benar-benar baru di bawah matahari yang belum pernah kita lalui. Sebelumnya, memang tidak ada hal seperti peretasan biologis, tetapi masyarakat kita akan menyerapnya dengan cara yang sama seperti saat menyerap hal-hal lain.

Satu-satunya yang tetap adalah Allah dan kemampuan kita untuk bertaut kepada-Nya. Kita tidak boleh membiarkan teknologi membingungkan kita sehingga berpikir bahwa, entah bagaimana, teknologi mengubah siapa Allah dan hubungan kita dengan Dia. (t/Nikos)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Christianity Today
Alamat situs : https://christianitytoday.com/ct/2018/october-web-only/technology-he-makes-everything-beautiful-in-its-time.html
Judul asli artikel : He Makes Everything Beautiful in Its Time -- Including Tech
Penulis artikel : Dorcas Cheng-Tozun