Apps4God

Submitted by admin on Thu, 11/11/2021 - 09:09

Bagaimana Kebiasaan Daring Membentuk Kita

Sebagai manusia, kita tidak bersifat murni rasional. Kita adalah jiwa-jiwa yang berwujud dan sepanjang hidup membawa jejak. Kita mencerminkan sesuatu yang kita cintai dan yakini. Dengan kata lain, kita dibentuk oleh hal yang ada di luar diri kita, termasuk dunia internet yang kompleks.

Belum lama ini, ada suatu masa ketika daring secara universal dianggap sebagai aktivitas. Sesuatu yang dilakukan orang-orang sebagai hiburan atau bisnis. Sekarang, hal itu sangat mungkin lebih akurat merujuk pada pengalaman ber-Internet sebagai sebuah eksistensi. Banyak orang, mungkin sebagian besar dari kita, begitu sering secara otomatis terhubung ke internet. Sulit membayangkan diri kita tanpa keberadaan daring, bahkan hanya untuk seminggu. Kita bekerja, menonton, berdebat, belajar, mengungkapkan, merayakan, berduka, dan mengakui sesuatu secara daring. Dan, saat kita melakukannya, kita mewujudkan jiwa yang menerima jejak digital.

Jejak digital melampaui pribadi manusia atau hal-hal yang kita saksikan, dengarkan, atau bicarakan secara daring. Jejak digital adalah tentang cara pengalaman daring membentuk kita dan struktur internet mengondisikan kita menjadi jenis orang tertentu. Ini mungkin terdengar mengkhawatirkan, tetapi jejak ini tidak dapat dihindari. Tantangan hidup yang dibawa jejak digital terhadap umat Allah adalah untuk mempertahankan warisan iman yang ditantang pada banyak hal oleh keberadaan digital.

Liturgi yang Membentuk Hati

Setiap budaya umat manusia menentang atau mengikis kebenaran Kristus yang diwahyukan dengan berbagai cara. Budaya-budaya "kristiani" sering kali mengaitkan identitas agama dan keanggotaan sipil sedemikian eratnya sehingga menghancurkan pembedaan yang dimiliki oleh anggota-anggota gereja yang sudah lahir baru. Secara lebih umum, budaya sekuler merusak iman dengan memberitakan Injil tentang kebebasan penuh dan ekspresi diri. Budaya selalu berkhotbah. Sebagaimana karya James K.A. Smith telah membantu menguraikan tentang liturgi, nilai-nilai, dan kepercayaan suatu budaya yang terbukti, melalui praktik-praktik dan institusi-institusi, mengekspresikan visinya tentang kehidupan yang baik. Misalnya, tawaran pusat perbelanjaan untuk menjadi bahagia dengan membeli lebih banyak barang. Dampak jejak budaya semacam itu pada anggotanya adalah salah satu yang secara intuitif melatih mereka untuk berpikir bahwa mereka akan puas jika mereka membeli lebih banyak.

Dunia internet memiliki liturginya sendiri yang membentuk hati. Jika kita tidak menyadari hal ini, mereka dapat secara halus mengubah keinginan dan kebiasaan kita dengan melemahkan keyakinan akan kebenaran atau kasih kita terhadap orang lain. Pertimbangkan tiga sikap hati yang dominan di dunia digital berikut ini, termasuk kebenaran pembanding yang perlu kita renungkan.

Liturgi Digital #1: "Kisah tentang diri saya adalah kebenaran tertinggi."

Dalam liturgi daring, mata uang paling penting dan paling nyata adalah cerita. Yang terpenting di atas segalanya adalah "katakan kebenaran Anda." Narasi pribadi bukan hanya sumber informasi atau bahkan identitas, tetapi sumber otoritas yang suci. Mempertanyakan narasi pengalaman orang lain berarti melakukan dosa yang mengerikan (mungkin satu-satunya dosa yang ada). Menanggapi dengan pertanyaan tentang kisah seseorang yang menemukan kebahagiaan melalui libertinisme seksual tidak lebih dari sebuah ancaman. Bersikeras bahwa aborsi adalah ilegal dalam menghadapi cerita pribadi (tentang cara mengakhiri kehamilan menyelamatkan seseorang dari kemiskinan) terdengar tidak hanya tidak berperasaan dan dingin, tetapi juga sangat bodoh.

Tentu saja, ini mungkin contoh ekstrem. Gender yang saling melengkapi dalam konteks alkitabiah adalah contoh lain dari sebuah doktrin yang sering diabaikan secara daring. Bagaimana jika etos populer budaya daring membuat paham komplementarianisme terasa tidak masuk akal sehingga tidak terasa dalam struktur luring kehidupan gereja? Sejauh teologi komplementarian tampaknya benar dan masuk akal pada hari Minggu pagi dalam gereja lokal saya, tetapi menjadi aneh, canggung, bahkan mungkin berbahaya di Twitter. Dengan begitu, kita dapat bertanya-tanya apakah pengalaman kehidupan digital yang sangat demokratis akan membuat hal-hal seperti ketertiban dalam ibadah kurang masuk akal daripada yang seharusnya?

Prioritas narasi pribadi justru menjadi alasan mengapa banyak percakapan tentang segala sesuatu, mulai dari politik hingga gereja, akhirnya berakhir, "Inilah yang saya alami, jadi inilah yang saya yakini." Sementara itu, pengalaman dan cerita tentu saja membentuk kita dan merupakan bagian dari arti menjadi manusia seutuhnya. Liturgi pengalaman daring menggunakan narasi ini untuk membatalkan apa pun pertimbangan kebenaran transenden yang menyaingi.

Kebenaran Pembanding: Pengalaman saya ini penting. Namun, karena saya bukan Allah, saya tidak dapat menafsirkannya sendiri secara otoritatif. Kebenaran yang terungkap memberi makna dan bentuk pada pengalaman saya dan itu adalah satu-satunya cara yang sempurna untuk memahami diri saya sendiri.

Ini luar biasa kontroversial. Ekspresikan keyakinan ini secara daring, dan dengan cepat orang-orang akan bersikeras bahwa Anda hanya tertarik mempertahankan kekuasaan mereka yang berwenang untuk menindas mereka yang berada di bawahnya. Dan, meskipun pelecehan semacam itu memang terjadi, itu tidak mengubah kebenaran esensial dari poin ini.

Menurut Kitab Suci, baik Anda maupun saya, bukanlah penafsir terakhir dari pengalaman kita sendiri. Sebaliknya, kita adalah makhluk terbatas dengan penglihatan terbatas. Pengalaman kita tentu saja penting, tetapi itu bukan yang utama. Daripada meninggikan pengalaman kita untuk mengendalikan sesuatu yang akan (atau tidak akan) kita percayai tentang realitas tertinggi, kita harus membiarkan kebenaran yang diwahyukan dari firman Allah membantu kita menafsirkan pengalaman kita sendiri. Dan, memperbarui kisah diri kita dalam Rencana Agung. Melakukan hal ini tidak mengurangi kepribadian kita atau membuat kita tidak berdaya untuk melawan ketidakadilan atau melindungi yang rentan. Sebaliknya, itu membuat hikmat tersedia bagi semua orang yang datang dengan iman untuk duduk pada kaki Kristus yang sudah bangkit, bukan hanya bagi mereka yang memiliki jumlah cerita menarik terbanyak.

Liturgi Digital #2: "Apa pun yang tidak 'berhasil' bagi saya harus dihilangkan."

Era digital tidak akan bermakna jika tidak dikendalikan. Dalam budaya daring, jika ada sesuatu yang tidak menyenangkan Anda, Anda dapat pergi ke halaman lain, situs lain, atau keluar saja. Budaya internet membentuk pikiran kita untuk mengharapkan tingkat kontrol yang tinggi atas hal yang kita alami. Ketika Anda cukup menekan tombol "Kembali" atau "Hapus", mengapa repot-repot menanggung sesuatu yang tidak nyaman? Alan Jacobs menyebutnya sebagai masyarakat "pertukaran". Ini adalah dunia di mana kita memiliki komitmen yang tipis, keanggotaan tanpa kewajiban, dan hubungan yang dapat diputuskan kapan saja dengan segala sesuatu, mulai dari gereja hingga pasangan kita. Jacobs menggambarkan semangat masyarakat pertukaran ini sebagai satu hal di mana "semuanya dapat diganti: semuanya dapat direproduksi, atau ditukar dengan model baru dan lebih baik."

Ini tentu tidak eksklusif hanya untuk budaya daring, tetapi sangat diintensifkan di sana. Itu sebabnya, kita semakin terbiasa memblokir atau membungkam orang yang tidak kita setujui, atau bahkan menggunakan "badai rasa malu" untuk mencoba mengusir sepenuhnya orang yang tidak kita sukai. Itu juga mengapa kita sering menyadari bahwa mendengarkan podcast pengkhotbah favorit menjadi alternatif yang menyenangkan dibanding memiliki pengalaman canggung dan berpotensi membatasi keanggotaan di suatu gereja lokal. Kehidupan daring mengondisikan kita ke arah yang nyaman dan mudah dibatalkan, serta jauh dari keterlibatan dan ketundukan.

Kebenaran Pembanding: Ketidaknyamanan, kecanggungan, dan ketegangan tidak selalu merupakan masalah yang harus dibereskan, tetapi kenyataan yang harus dirangkul dalam kehidupan dengan komitmen yang kuat.

Semangat pertukaran melihat kehidupan dan bertanya seberapa mudah seseorang bisa keluar dari suatu perkara jika itu tidak berhasil. Akan tetapi, Alkitab memuji kehidupan dengan komitmen yang besar. Mazmur 15:1,4 mengatakan orang yang berjanji "sekali pun rugi" dan tidak mengubahnya adalah orang yang dapat tinggal di gunung Tuhan yang kudus. Perceraian adalah sesuatu yang dibenci Allah (Maleakhi 2:16), seperti halnya ketidaksetiaan (Roma 1:31) dan kegagalan untuk memedulikan orang-orang terdekat kita (1 Timotius 5:8). Yang terbaik bagi kita sebagai manusia adalah tidak mengatur hidup kita sedemikian rupa sehingga kita tidak harus melepaskan apa pun atau mengalami kesulitan yang serius, tetapi mengorbankan diri kita sendiri pada apa yang benar, baik, dan indah. Meskipun kita sering takut menyerahkan perasaan kita untuk melayani sesuatu di luar diri kita, tetapi sebaliknya, ini adalah jalan menuju makna.

Dalam bukunya "The Road to Character", kolumnis New York Times, David Brooks, mengatakan demikian:

Kita cenderung berasumsi bahwa tujuannya adalah menjalani kehidupan individu yang paling kaya dan penuh dengan melompat dari satu organisasi ke organisasi berikutnya yang sesuai dengan kebutuhan kita. Makna ditemukan melalui tindakan pembentukan diri ini, melalui hal-hal yang kita buat dan kontribusikan, melalui pilihan kita yang tanpa akhir ....

Hidup tidak seperti mengemudi melewati lapangan terbuka. Hidup berarti mengikatkan diri pada beberapa institusi yang tertanam di atas dasar sebelum Anda lahir dan akan terus ada di sana setelah Anda mati. Ini adalah menerima warisan dari orang mati, mengambil tanggung jawab untuk melestarikan dan meningkatkan sebuah institusi, kemudian mewariskan institusi itu dengan lebih baik kepada generasi berikutnya. (115)

Jejak budaya digital yang menipu melatih kita untuk memprioritaskan hal yang dapat dengan mudah dihapus. Namun, yang memuaskan kerinduan terdalam kita adalah kehilangan diri kita sendiri untuk sesuatu yang benar-benar layak.

Liturgi Digital #3: "Saya harus mengatakan sesuatu!"

Karena ruang digital tidak memiliki kehadiran yang nyata, orang cenderung direduksi berdasarkan pendapat mereka. Mereka adalah hal yang mereka unggah. Ini berarti bahwa liturgi utama budaya daring menyatakan bahwa keheningan adalah masalah. Jika ada kontroversi yang terjadi secara "real-time", gagal mengunggah sesuatu tentang hal itu sama saja dengan tidak peduli. Sementara baru beberapa tahun yang lalu kebanyakan orang ragu-ragu untuk mengatakan apa pun di Wild West Internet, era media sosial telah mengubah imajinasi kolektif kita. Jadi, terasa aneh, dan mungkin bermasalah, ketika seseorang tidak mengatakan sesuatu.

Dalam "12 Ways Your Phone Is Changing You" ("12 Cara Ponsel Anda Mengubah Anda" - Red.), Tony Reinke menulis bahwa meskipun orang-orang dirancang oleh Allah untuk mengalami emosi dengan penuh pertimbangan, "Pada era digital, masa-masa (suka atau duka) itu datang kepada kita terlalu cepat, dan karena itu mereka datang dan pergi begitu cepat, kita jarang merasakan beban emosi kita." Dengan perkataan lain, keberadaan daring melatih kita untuk mengaktualisasikan kehidupan batin kita dengan cepat melalui terbitan instan. Kita mungkin memanifestasikan diri melalui kebutuhan untuk mengomentari setiap item berita terbaru. Atau, mengembangkan rasa iri yang menggerogoti dan membandingkan postingan yang mengasihani diri sendiri ketika Anda menggulir medsos. Ini membuat kita dapat dengan mudah kehilangan emosi atau bahkan kebaikan dan kedaulatan Allah, ketika hidup dijalani hanya bertaut pada cuitan Twitter atau Instagram pada satu waktu.

Kebenaran Pembanding: Diam dan ketahuilah bahwa Dia adalah Allah.

Ketika kita tahu bahwa kita sepenuhnya menjadi diri sendiri hanya ketika kita menjadi lebih seperti Yesus, keheningan berhenti menjadi musuh. Kita dapat menerima perintah alkitabiah untuk diam dan mengetahui bahwa Allah adalah Allah (Mazmur 46:10), untuk berdoa dan berpuasa secara rahasia (Matius 6:6, 17-18), dan memelihara kehidupan dengan menjaga perkataan yang kita ucapkan (Amsal 13 :3). Tekanan untuk terus-menerus membuat diri kita terlihat atau didengar melalui teknologi digital berkurang ketika kita mengingatkan diri kita sendiri bahwa Pencipta, Penebus, Hakim, dan Sahabat kita selalu bersama kita.

Kepedihan yang menggerogoti untuk mengumumkan pendapat kita atau bahkan kehidupan kita secara daring bisa menjadi bukti bahwa kita tidak merasa dimeriahkan oleh hadirat Allah sebagaimana seharusnya. Namun, yang harus kita lakukan adalah mengingatkan diri kita sendiri tentang Siapa yang bertekad untuk tabernakel (berdiam - Red) bersama kita. Hal-hal di media sosial akan meredup dengan sendirinya dalam cahaya tatapan kasih-Nya. Lakukan dan simpan yang paling penting itu untuk diri Anda sendiri. Hakim Semesta Bumi akan berlaku adil (Kejadian 18:25). (t/N. Risanti)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Desiring God
Alamat situs : https://www.desiringgod.org/articles/constantly-disconnected
Judul asli situs : Constantly (Dis)connected -- How daring Habits Form Us
Penulis artikel : Samuel James