"Dapatkah esensi dari kepribadian diunggah ke komputer?" tanya seorang teolog.
Pencapaian teknologi demi peningkatan hidup manusia begitu kaya dalam janjinya serta menunjuk ke masa depan luhur yang penuh dengan kesehatan dan kebahagiaan.
Alat-alat penyunting gen baru, seperti CRISPR-Cas9, ditambah dengan kemajuan nanoteknologi dalam layanan kesehatan serta kemajuan ilmu saraf yang terus meningkat menaikkan harapan untuk menyembuhkan berbagai kecacatan ataupun penyakit yang hingga saat ini tidak dapat disembuhkan.
Meminjam kalimat penuh antusias dari The Scientist tentang kemajuan teknologi dalam memulihkan daya penglihatan, "Para ilmuwan telah mencapai apa yang sebelumnya hanya dapat dilakukan oleh para pembuat mukjizat."
Pastinya, tidak seorang pun akan menolak karunia untuk mengangkat penderitaan seandainya ilmu pengetahuan dapat membuat yang buta melihat dan yang lumpuh berjalan melalui rekayasa genetika, implantasi otak, ataupun prostetis robotik.
Meski begitu, kita tidak boleh mengabaikan bahwa fokus kita yang semakin meningkat terhadap teknologi untuk mengangkat penderitaan manusia didukung oleh suatu pandangan dunia yang mengubah persepsi diri kita. Imersi kita dalam teknologi berbanding lurus dengan hilangnya pribadi kita.
Tentu saja, berbicara tentang hilangnya sesuatu sama halnya dengan menyiratkan bahwa kita tahu apa yang hilang. Akan tetapi, apakah manusia itu sejatinya tetap sulit untuk dijelaskan. Dalam "What Is a Person?" (Apa itu Pribadi?) -- salah satu buku modern tentang topik tersebut -- sosiolog Christian Smith mengartikan suatu pribadi sebagai berikut:
"Pribadi yang saya maksud adalah pusat pengalaman subjektif yang sadar, refleksif, terwujud, dan melampaui dirinya sendiri, suatu identitas yang tahan lama, dan komunikasi sosial yang -- sebagai Penyebab Efisien dari aksi dan interaksinya sendiri yang bertanggung jawab -- menjalankan kapasitas kompleks untuk perantara dan intersubjektivitas guna mengembangkan dan menopang dirinya sendiri yang tidak dapat dikomunikasikan dalam relasi penuh kasih dengan pribadi lainnya dan dengan dunia nonpribadi."
Tiga fitur kepribadian dari definisi yang diungkapkan Smith sangat penting. Pertama, suatu pribadi memiliki tubuh. Roh atau kehadiran suatu pribadi manusia hanya dapat tinggal dalam bentuk jasmaniah.
Kedua, suatu pribadi merupakan agen moral. Tidak seperti binatang, manusia sebagai insan-insan pribadi dapat melangkah keluar dari lingkungan terdekat mereka dan mengevaluasi dunia, diri mereka sendiri, dan orang lain berdasarkan asas-asas yang abstrak. Kemampuan ini merupakan fondasi dari kualitas khusus yang dimiliki manusia, yaitu penalaran, yang memungkinkan adanya seni, sastra, sains, dan agama.
Fitur paling mencolok ketiga dari definisi Smith adalah yang terpenting, sebab itu membawa kita melampaui gagasan bahwa manusia hanyalah binatang yang memiliki rasio. Suatu pribadi manusia merupakan "diri yang tak terkomunikasikan".
Maksudnya, suatu pribadi bukanlah sesuatu yang dapat habis didefinisikan -- ia bukan sekadar kumpulan dari karakteristik-karakteristik tertentu. Dengan kata lain, suatu pribadi tidaklah seperti bawang, yang hanya terdiri dari lapisan-lapisan kualitas, sehingga saat kita mengupas lapisan terakhirnya, kita tidak memiliki apa pun di tangan kita.
Tanpa diragukan lagi, beberapa kemampuan dan fitur tertentu secara intrinsik selalu menjadi bagian dari suatu pribadi, menolong kita mengidentifikasi seseorang, seperti Yohanes, Rut, atau Maria. Namun, "diri yang tak terkomunikasikan" dari suatu pribadi, seperti kata Smith, tidak dapat ditangkap oleh daftar karakteristik yang terlengkap sekalipun. Suatu pribadi bukanlah sesuatu yang terdiri dari fitur-fitur tersendiri, melainkan seseorang yang unik, yang memiliki, memegang, dan menghuni fitur-fitur tersebut.
Diri yang tak terkomunikasikan tersebut, yang adalah suatu kehadiran yang tidak dapat diperkecil menjadi kuantitas atau kualitas khusus tertentu yang dapat diidentifikasi, adalah esensi dari suatu kepribadian. Ia adalah suatu misteri yang mustahil ditangkap dengan konsep atau perkataan, tetapi bagaimanapun tetap nyata adanya.
Satu-satunya kata yang cukup dekat untuk mendeskripsikan hadirnya seseorang adalah "kasih", yang diartikan sebagai kehendak untuk mendorong orang lain. Barangkali gambaran terbaik untuk mendeskripsikan kasih ini adalah hubungan antara ibu dan anak. Idealnya, sejak momen pertama, seorang ibu menginginkan anaknya berkembang dan pada akhirnya menjadi mandiri darinya sebagai seorang individu yang bebas dan bahagia.
Dari perspektif si anak, skenario ini juga menjelaskan mengapa eksistensi individu tersebut sebagai suatu pribadi memiliki kualitas mendasar dari suatu karunia. Masing-masing dari kita telah dibentuk secara mendalam dalam cara kita berinteraksi dengan dunia oleh orang lain. Dengan demikian, kesadaran manusia, secara definisi, bersifat timbal-balik.
Jean-Pierre Dupuy, dalam bukunya yang berjudul "On the Origins of Cognitive Science" (Asal-Usul Sains Kognitif - Red.), menceritakan suatu kisah tentang seorang pria dan istrinya -- para penyintas Holocaust (upaya pemusnahan bangsa Yahudi oleh NAZI dalam PD II- Red.) -- yang dipersatukan kembali setelah dilepaskan dari kamp konsentrasi yang terpisah. Enam bulan kemudian, sang istri meninggal karena penyakit yang diidapnya sewaktu berada di kamp sehingga menyebabkan suaminya jatuh ke dalam keputusasaan yang terdalam dan tampaknya tidak mampu melanjutkan hidupnya.
Dalam terapi, psikiater terkenal Viktor Frankl, yang juga merupakan penyintas Holocaust, bertanya kepada pria tersebut, "Seandainya Tuhan memberi saya kuasa untuk menciptakan replika dari istri Anda yang sama persis -- termasuk ingatan dan sikapnya sehingga Anda tidak dapat membedakan dia dari istri Anda yang sudah tiada -- apakah Anda mau saya melakukannya?"
Setelah kesunyian yang lama, pria itu berdiri dan berkata, "Tidak, terima kasih, Dokter," lalu pergi untuk memulai hidup baru.
Apa yang terjadi? Pria itu menyadari bahwa simulasi paling sempurna sekalipun tidak dapat menangkap diri yang tak terkomunikasikan, yaitu inti dari kasih yang unik untuk orang lain yang menjadikan kita manusia.
Namun, pemahaman tentang pribadi ini telah menghilang dari obsesi budaya kita sekarang ini dengan hadirnya solusi digital. Salah satu contohnya adalah transhumanis Ray Kurzweil, yang terkenal karena memprediksikan bahwa pada 2045, kita akan dapat mengunggah pikiran kita ke platform-platform komputasi seperti komputasi awan.
Seperti halnya nabi-nabi akhir zaman dari agama Kristen, Kurzweil terus merevisi tanggalnya, tetapi yang menarik bagi saya adalah klaimnya tentang teknologi itu sendiri.
Akankah harinya tiba saat kita dapat mengunggah pikiran kita? Saya ingin meyakinkan Anda bahwa itu tidak akan pernah terjadi, sebab pengunggahan pikiran itu dipremiskan pada kesalahpamahan mendasar tentang pribadi manusia.
Sangat penting diperhatikan bahwa yang dimaksudkan dengan "pikiran" oleh Kurzweil adalah profil kepribadian, sebuah replika dari diri kita yang sebenarnya. Dilemanya sangat mirip dengan yang dialami oleh penyintas Holokaus yang kehilangan istrinya itu: Kurzweil merindukan ayahnya dan ingin membangkitkannya kembali dengan membuat replika komputer dari kepribadiannya.
Bagaimana caranya? Dengan memasukkan semua data yang sudah dia kumpulkan tentang ayahnya ke dalam komputer: rekaman suara, foto, surat, komposisi musik -- ratusan kotak yang penuh dengan berbagai hal.
Tentu saja, seandainya proses ini berhasil pun, yang akan Anda dapatkan bukanlah seseorang yang nyata, melainkan suatu replika. Jawaban Kurzweil adalah bahwa itu tidak masalah, sebab dalam diri manusia yang hidup sekalipun, identitas pribadi sebenarnya bukan apa-apa kecuali pola masuk dan keluarnya informasi. Dan, otak pada dasarnya adalah mesin perekam dan pengenal pola, yang kurang lebih sama seperti komputer.
Ketika visioner seperti Kurzweil merendahkan kesadaran menjadi otak, dan otak menjadi mesin biologis, mudah bagi mereka untuk membayangkan bahwa kita dapat merekayasa balik otak dan menciptakan ulang segala fungsinya secara digital sehingga kita dapat mengunggah identitas diri kita yang unik ke perangkat-perangkat dengan memori digital, lalu entah menikmati masa depan tanpa tubuh atau mengunduh diri kita ke dalam tubuh sintetis keren mana pun yang dapat disediakan oleh teknologi.
Menurut saya, kita tidak perlu kurang tidur akibat memikirkan kemungkinan bahwa visi futuristis transhumanisme akan menjadi kenyataan. Bukan, masalah yang sebenarnya adalah pertempuran imajinasi kita.
Semakin banyak orang seperti Kurzweil yang mengatakan bahwa identitas manusia kita itu seperti suatu profil yang disimpan dalam ponsel pintar kita, semakin kita akan benar-benar meyakini bahwa ini adalah suatu kebenaran. Lihatlah bagaimana kita mencurahkan diri kita sendiri ke dalam akun-akun media sosial kita.
Yang menjadi masalah dengan konsep kepribadian dari Kurzweil adalah bahwa diri manusia, yaitu identitas pribadi kita, tidak dapat direndahkan menjadi pola pertukaran informasi. Berlawanan dengan klaim dari kaum transhumanis, baik otak maupun kesadaran manusia tidak bekerja seperti komputer karena keduanya sangat bergantung pada tubuh organik.
Kita juga tidak menganggap dunia sebagai algoritme pemrosesan informasi. Tidak, kita dengan terampil menavigasi dunia yang penuh dengan makna dan dimensi manusia ini berdasarkan tubuh kita yang berjiwa.
Kurzweil tidak keberatan mengubah orang menjadi mesin karena dia sudah menganggap mereka sebagai mesin. Impian transhumanis Kurzweil hanya dimungkinkan jika Anda percaya pada visi kerdil tentang diri manusia yang berdasarkan pandangan tentang kesadaran yang komputasional, tanpa tubuh, dan individualistis.
Dalam pandangan ini, kepribadian yang sejati telah lenyap. Seperti apa pun dunia yang dibayangkan oleh Kurzweil, itu bukanlah dunia manusia yang bergantung pada relasi yang bertubuh dan penuh kasih yang menjadikan kita manusia -- dan dengan demikian, diciptakan dalam gambar Allah. (t/Odysius)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | Faith & Leadership |
Alamat situs | : | https://faithandleadership.com/jens-zimmermann-technology-and-disappearance-person |
Judul asli artikel | : | Technology and the disappearance of the person |
Penulis artikel | : | Jens Zimmermann |