Apps4God

Submitted by admin on Mon, 04/26/2021 - 13:08
Perjamuan Kudus Daring? Teologi dan Gereja Digital

Ada banyak wilayah penting yang memerlukan pemikiran teologis yang segar dengan mempertimbangkan dunia yang terus berubah dengan pesat ini. Pendefinisian ulang keluarga, sifat dari identitas seksual, kecerdasan buatan, rekayasa genetik, dan sekarang, gereja digital.

Salah satu kekhawatiran yang lebih mendesak adalah seberapa banyakkah teknologi dapat dan perlu digunakan -- serta bagaimana caranya -- dengan mempertimbangkan eklesiologi yang ortodoks dan cepat. Dapatkah seseorang dikatakan "hadir" jika itu dilakukan melakukan koneksi internet dan seperangkat alat realitas virtual (VR)? Pantaskah kita melakukan pembaptisan daring tempat avatar-avatar kita ditenggelamkan ke dalam air? Bagaimana dengan gereja yang sepenuhnya dibuat dengan komputer dengan menggunakan VR dan realitas tertambah (AR)? Dan, kalau saya boleh menambahkan, gereja semacam itu sudah ada.

Pada tingkatan yang paling rendah, apakah yang perlu orang pikirkan ketika mereka berpartisipasi melalui ibadah daring, tetapi menganggap diri mereka bagian dari gereja -- yaitu "orang Baptis di samping tempat tidur" dan "orang Presbiterian bantal"? Atau, bagaimana ketika mereka menggunakan aplikasi untuk menghadiri "kegiatan" digital dan masuk ke dalam doa bersama melalui emoji dan avatar?

Apakah Gereja Digital itu Diperbolehkan?

Akan ada reaksi yang sifatnya spontan dan tanpa pikir panjang terhadap inovasi semacam itu, tetapi tidak banyak kecurigaan bahwa suatu cara untuk melakukan -- atau menjadi -- gereja ditempa melalui inovasi teknologi dan dunia yang semakin digital. Dengan kata lain, alih-alih meminta reaksi negatif yang timbul dari rasa kurang suka atau preferensi gaya, ia memerlukan refleksi teologis yang merenungkan tentang revolusi digital secara serius.

Satu tulisan blog tidaklah cukup untuk mengatasi tugas ini, tetapi barangkali saya dapat menyarankan satu cara berpikir tentang salah satu dari banyak pertanyaan yang diajukan: apabila seseorang terlibat dalam suatu kampus daring, perlukah mereka didorong untuk berpartisipasi dalam Perjamuan Kudus sambil mereka menonton?

Sekali lagi, ini bukan tentang teologi yang sudah dikembangkan secara penuh tentang gereja digital, apalagi menganggap bahwa itu satu-satunya pertanyaan yang mungkin diajukan. Jadi, mari kita memperlakukannya sebagai contoh pertanyaan yang memerlukan refleksi teologis dengan mempertimbangkan revolusi digital.

Kesimpulan saya secara pribadi? "Ya" dengan memenuhi syarat.

Saat saya masih menempuh studi di seminari dan melayani sebagai pendeta di suatu Gereja Baptis Pertama ibu kota county, salah satu pelayanan para diaken yang lebih berarti adalah membawa perjamuan kudus kepada orang-orang yang tidak dapat pergi ke luar rumah. Kami menawarkan perjamuan kudus sekali dalam sebulan. Kami memiliki anggota gereja yang secara fisik tidak dapat hadir -- mereka di rumah sakit, di panti, atau di rumah mereka sendiri, tetapi secara fisik tidak dapat bepergian.

Karena itu, setiap Minggu sore, setelah ibadah Minggu pagi ketika kami mengadakan perjamuan, para diaken gereja pergi ke berbagai penjuru kota dan membawa perlengkapan komuni dengan roti dan jus anggur kepada orang-orang tersebut supaya mereka juga dapat mengambil bagian.

Para diaken menghabiskan beberapa menit untuk berbicara dengan mereka, membacakan ayat Alkitab dan berdoa, mengingatkan mereka akan kasih dan kepedulian gereja terhadap mereka, kemudian membagikan roti dan jus tersebut kepada mereka. Itu sangatlah indah dan merupakan lambang gereja dan sakramen.

Lantas, secara teologis, apa masalahnya? Mereka adalah anggota/jemaat gereja, tidak mampu hadir secara fisik, dan kami, sebagai gereja, pergi kepada mereka pada hari-hari kami merayakan komuni untuk mengikutsertakan mereka dalam semangat komunitas dan perayaan sakramen yang dilakukan secara bersama tersebut.

Maju cepat.

Anda merayakan perjamuan kudus sebagai gereja pada 2020, dan terdapat orang-orang di antara Anda yang tidak dapat hadir secara langsung yang bergabung dengan Anda secara daring. Mereka bisa saja sedang berada di rumah sakit, di panti jompo, seorang yang tidak dapat pergi meninggalkan rumah, sedang bepergian karena bisnis dan sedang berada di kamar hotel, sedang berada dalam liburan dan menonton sebagai keluarga, atau tinggal di suatu tempat yang tidak ada gereja fisik di sana dan ibadah daring telah menjadi gaya hidup mereka -- menjadi satu-satunya gereja yang dapat mereka miliki.

Apa yang akan Anda lakukan?

Dapatkah kita menggunakan pertimbangan teologis dan eklesiastik yang sama yang diterapkan oleh gereja yang sebelumnya?

Bagaimana jika seorang pendeta kampus daring mengatakan, "Bagi Anda yang bergabung bersama kami secara daring yang tidak dapat bersama-sama dengan kami secara fisik, ambillah secuil roti dan jus atau anggur, dan bersama-sama dengan kami sebagai gereja, bergabunglah sebagai bagian dari komunitas."

Mengapa hal itu berbeda dengan jika para diaken yang membawakan perjamuan itu kepada mereka?

Pada masa kini, internet yang "membawakan" perjamuan itu kepada mereka dan mereka melayani diri mereka sendiri dengan elemen-elemen di dalamnya. Perjamuan itu tetap dilakukan dengan kehormatan penuh terhadap sakramen tersebut, di bawah kepemimpinan pendeta, di bawah otoritas gereja dan dalam semangat berkomunitas.

Jadi, adakah pembatasan-pembatasan tertentu dalam hal-hal seperti sakramen dan semacamnya? Menurut saya ada. Sebagai contoh, baptisan. Apakah kita akan mengatakan, "Bagi Anda yang menonton secara daring, silakan mengisi bak mandi Anda dan baptislah diri Anda sendiri sambil kami melakukan sakramen baptisan sebagai bagian dari ibadah ini"?

Tentu saja tidak. Mengapa? Karena tujuannya adalah untuk memikirkan tentang setiap pertanyaan yang diajukan oleh revolusi digital dan gereja digital, baik secara alkitabiah maupun secara teologis. Ditambah lagi, sifat dari sakramen baptisan adalah bahwa hal itu dimaksudkan untuk menjadi pertanyaan iman yang bersifat publik. Artinya, itu dilakukan di depan orang banyak. Untuk alasan yang sama inilah Anda tidak dapat menikah dengan diri Anda sendiri. Saat sepasang pasangan menikah, mereka mengambil sumpah secara publik, dan sifat publik dari sumpah itulah yang penting.

Kesimpulan semacam itu mungkin tidak dapat memuaskan semua orang ataupun mereleksikan cara untuk berpikir secara teologis tentang segala aspek dari gereja digital. Setiap aspek akan membawa set tantangan teologisnya sendiri yang unik. Namun, barangkali ini menunjukkan bagaimana kita harus merefleksi, dan merefleksi secara mendalam, tentang dunia digital dan bagaimana gereja beroperasi dalam dunia digital tersebut.

Ketiga hal inilah yang saya tahu: Kita tidak dapat mengubur kepala kita di dalam pasir seolah tidak ada pertanyaan baru yang diajukan terhadap doktrin Alkitab (pertanyaan itu ada); kita tidak dapat maju secara buta menuju dunia digital seolah teologi tidak penting lagi (teologi itu penting), dan kita tidak dapat menahan semua inovasi eklesiastik seolah revolusi digital tidak pernah terjadi (revolusi itu benar-benar terjadi).

Sumber: Dalvin Brown, -Online Church : Ministries Use VR, Apps to Deliver Digital Services and Virtual Baptisms,- USA Today, December 27, 2019, read online.

(t/Odysius)

Diterjemahkan dari: Nama situs : Church Leaders Alamat situs : https://churchleaders.com/ministry-tech-leaders/369945-online-communion-theology-and-the-digital-church.html Judul asli artikel : Online Communion? Theology and the Digital Church Penulis artikel : James Emery White Tanggal akses : 8 Maret 2021