Apps4God

Submitted by admin on Tue, 01/31/2017 - 12:00

Satu obrolan di kedai kopi akhir pekan lalu memperbincangkan lokasi penangkapan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar oleh KPK yang ditulis berbeda oleh tiga media arus utama. "Kok, bisa? Apakah semata mengejar kecepatan sehingga media itu tak perlu meminta klarifikasi dari pihak berwenang?" kata Direktur NU Online Savic Ali.

Obrolan berlanjut hingga soal kode etik wartawan dan membanjirnya berita bohong (hoax).

Sepekan sebelumnya, belasan jurnalis, akademisi, bloger, dan aktivis media dari sejumlah negara di Asia, Afrika Utara, Timur Tengah, dan Eropa juga membahas perilaku media ini. Media yang dimaksud dalam diskusi yang digelar Pusat Jurnalisme dan Media Internasional (JMIC) Universitas Oslo dan Akershus Norwegia serta Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) itu merujuk pada media massa tradisional, seperti koran dan televisi, dan media digital, termasuk media sosial.

Mereka mendiskusikan media di era pasca kebenaran, ketika kebenaran bisa saja dianggap mati karena masyarakat lebih percaya pada hoax. Bloger Damat Juniarto menggambarkan masifnya perubahan konten media seiring derasnya kemunculan media-media daring. Dari zaman mailing list pada tahun 1996, lalu portal berita Detik.com muncul pada 1998, hingga kini terdapat 40.000 media daring. Merujuk data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Damat mengatakan, dari puluhan ribu media daring itu, hanya 300 media yang terverifikasi.

Banyak orang pada beberapa tahun terakhir ini getol membicarakan perilaku media (termasuk media sosial) di media sosial. Mereka bisa berbicara apa pun, dan berbagai topik itu ditulis lagi oleh media. Ketika berita-berita palsu dan hoax membanjir di media sosial, berbagai komentar, analisis, hingga keprihatinan dipaparkan di media tradisional, media daring, dan media sosial. Media membicarakan media.

Peneliti di Reuters Institute for the Study of Journalism, Nic Newman, dalam Proyek Berita Digital 2017 yang diterbitkan oleh Reuters Institute menuliskan, 2016 adalah tahun yang historis, meski tidak selalu dalam perspektif baik. Donald Trump terpilih sebagai presiden, Brexit terjadi, Eropa diserang teror, Aleppo porak poranda, dan penyanyi David Bowie meninggal. Tidak hanya itu, 2016 adalah tahun ketika media itu sendiri menjadi berita.

Kekhawatiran

Dalam laporan hasil penelitian, Newman mengatakan, pada tahun-tahun ini muncul ketakutan pada perkembangan teknologi yang dapat memengaruhi mutu infomasi serta kehidupan berdemokrasi. Survei terhadap 143 editor, direktur eksekutif, dan pemimpin media digital menyebutkan, 70 persen responden mengkhawatirkan distribusi berita palsu/tidak akurat di jejaring media sesial yang nantinya akan menguatkan posisi mereka.

Sebanyak 46 persen responden kian khawatir terhadap peran platform digital. Sebanyak 56 persen responden mengatakan, Facebook Messenger menjadi bagian penting, bahkan sangat penting, bagi pengambilan keputusan atau tindakan. Sebanyak 53 persen juga percaya pengaruh itu datang melalui WhatsApp dan 49 persen percaya pengaruh Snapchat. Sebanyak 33 persen responden dari latar belakang surat kabar kian mengkhawatirkan keberlangsungan finansial.

Sama seperti di Indonesia, berita-berita palsu dan hoax juga beredar di negara-negara seperti Tunisia, Turki, Banglades, dan Pakistan. Sejumlah jurnalis dan akademisi di negara-negara tersebut pada diskusi intermedia di UI menunjukkan beberapa berita bohong di Facebook. "Kejadiannya pada tahun sekian di negara lain, diganti menjadi 2016 di Banglades, untuk memperkeruh situasi," kata Julfikar Ali Manik, jurnalis televisi Boishakhi Banglades.

Bagaimana prediksi tahun 2017? Menurut Newman, berita palsu tetap berlanjut karena berita palsu sebenarnya bukan barang baru. Berita-berita palsu pada tahun ini diimbangi oleh membanjirnya layanan pengecekan fakta yang tentu disokong atau didanai oleh banyak perusahaan, yayasan, dan dermawan.

Google, misalnya, menyediakan sejumlah layanan berita sebagai bagian dari Digital News Initiative. Facebook juga mengumumkan rencana untuk bekerja sama dalam membuat layanan-pengecekan fakta, seperti dengan Snopes, The Washington Post, dan PolitiFact. Pengecekan fakta ini akan diintegrasikan secara algoritma dengan newsfeed di Facebook.

Teknologi dijawab dengan teknologi. Kepalsuan bisa dikonfirmasi dengan keaslian. Para pakar bilang, saat ini adalah zaman pasca kebenaran, namun kebenaran tidak pernah beranjak. Ketua Masyarakat Anti Hoax Septiaji Eko Nugroho yakin, selama masih ada niat baik, kita bisa bersama-sama menangkal serangan hoax dan berita palsu.

"Para jurnalis, misalnya, kewajiban mereka adalah menjadi orang yang memastikan keberimbangan informasi. Berani berkata tidak pada tuntutan untuk partisan atau berat sebelah. Sebagaimana kami juga mengajak masyarakat untuk mulai berkata tidak pada penyebaran hoax," kata Septiaji. (SUSI IVVATY)

Diambil dari:
Nama surat kabar: Kompas
Judul artikel: Era Media Membicarakan Media
Penulis artikel: Susi Ivvaty
Tanggal terbit: 30 Januari 2017