Hari Paskah yang lalu, penulis mendapatkan kiriman gambar kartun yang cukup lucu dari Internet. Diperlihatkan Tuhan Yesus keluar dari kubur, sementara beberapa murid dan perempuan yang mengikut-Nya mengambil foto-Nya dengan smartphone dan mem-posting-nya ke media sosial. Gambar tersebut disertai komentar, "Andai di zaman itu sudah ada smartphone... ."
Itulah pandangan manusia modern hari ini, yang sering tidak mudah percaya pernyataan seseorang tanpa bukti foto atau video hasil rekaman smartphone, dan adanya bukti tersebut pun belum tentu dianggap benar akibat tersedia dengan luasnya berbagai aplikasi untuk mengedit foto dan video.
Memang smartphone kini telah menjadi bagian hidup manusia di dunia. Studi eMarketer di akhir 2014 memperkirakan pengguna Smartphone di dunia mencapai 2 miliar orang di tahun 2016. Di Indonesia sendiri diperkirakan ada 52,2 juta orang pengguna Smartphone di 2015 dan 69,4 juta orang di tahun 2016, dengan peringkat ketujuh terbanyak di dunia.
Smartphone, tablet, smart watch, smart TV, Internet dan berbagai piranti digital lainnya yang jumlahnya bertumbuh dengan pesatnya merupakan teknologi konsumen yang mewarnai dunia kita hari ini. Pertanyaannya, bagaimana gereja menyikapi teknologi tersebut, yang belum sebagian besar bahkan belum ditemukan 20 tahun yang lalu?
Pandangan yang Keliru
Ada dua pandangan keliru yang dipegang oleh para pemimpin gereja, yang mengakibatkan gereja gagal memanfaatkan teknologi dan meraih potensi maksimal yang terkandung di dalamnya guna menunjang dan mengembangkan pelayanannya.
Pandangan pertama, "Teknologi itu jahat." Memang ini tidak dinyatakan orang dengan gamblang, tetapi pandangan ini sudah beredar di kalangan Kristen sejak puluhan tahun yang lalu sebelum ada Internet. Di zaman itu ada pendeta yang melarang jemaatnya menonton bioskop atau TV, sebab isinya sebagian besar duniawi dan membawa filosofi negatif yang dapat merusak pikiran jemaat. Setelah kemudian berkembanglah Internet dan media sosial, pandangan ini tetap terbawa. Bahkan penolakan terhadap Internet dan media sosial lebih keras dibandingkan bioskop atau TV, sebab isi Internet dianggap lebih banyak mudaratnya: pornografi, kekerasan, kebencian, ateisme dan ajaran-ajaran agama lain yang dengan mudahnya dapat diakses bahkan oleh anak-anak di bawah umur.
Penolakan lain muncul saat smartphone dan tablet mulai masuk ke ruangan ibadah. Alkitab dalam bentuk buku mulai digantikan Alkitab elektronik, buku catatan khotbah semakin jarang ditemui. Di saat khotbah, di mana-mana tampak jari-jemari mengetuk-ngetuk layar. Mengamati kenyataan ini, ada pendeta atau pengurus gereja yang melarang jemaatnya menggunakan piranti-piranti tersebut di gereja, sebab menganggapnya mengalihkan perhatian dari khotbah dan mengganggu kekhusyukan ibadah. Dari jauh memang tidak jelas bedanya apakah orang sedang mencatat khotbah, berkirim pesan melalui BBM atau WhatsApp, mengecek Facebook atau Path, atau bermain Candy Crush Saga.
Beberapa orang Kristen termasuk pemimpin gereja tidak sekeras itu menolak teknologi, tetapi tetap berprasangka negatif kepadanya sebagai alat Iblis atau pengganggu yang terlalu sulit untuk dipelajari, apalagi dikuasai. Waktu yang dibutuhkan untuk menguasai teknologi dipandang terlalu lama, sehingga sebelum ia dapat menggunakannya dengan benar, mungkin Yesus keburu datang. Oleh karenanya mereka mengabaikan teknologi saja, menganggapnya tidak ada. Sikap cuek bak burung unta ini juga merupakan sikap yang negatif. Bermata tetapi tidak melihat, dan bertelinga tetapi tidak mendengar.
Tentu teknologi pada dasarnya tidak jahat. Teknologi sudah menjadi bagian dari kehidupan kita, menemani kita dari pagi sampai malam, menyertai perasaan dan pikiran kita, membantu kita mengambil keputusan, mencari nafkah, dan juga melayani Tuhan. Seperti Daud melakukan kehendak Allah pada zamannya (Kis. 13:36), kita juga harus melakukan kehendak Allah di zaman ini, dan itu juga menyangkut pemanfaatan dan pengembangan teknologi.
Semua dampak negatif yang dibawa oleh teknologi dapat juga dibawa oleh media tradisional lain. Sebagai contoh, sambil mendengar khotbah pun orang bisa pura-pura mencatat khotbah, padahal ia sedang menggambar karikatur sang pendeta. Jadi tentu sebagai alat, teknologi tidak jahat. Ibarat pisau dapur yang dapat digunakan untuk memotong sayur atau buah, tetapi dapat juga diselewengkan untuk membunuh orang.
Pandangan kedua, "Teknologi adalah solusinya." Maksudnya, teknologi adalah solusi agar gereja kita berkembang. Biasanya pemimpin gereja yang berpandangan seperti ini baru berkunjung ke gereja lain dan kagum melihat canggihnya pemanfaatan teknologi di sana. Seperti penggunaan multimedia yang canggih, situs web yang apik, profil Facebook yang di-like puluhan ribu orang, live streaming ibadah berkualitas Full HD dan sebagainya.
Pandangan yang terlalu optimis dengan teknologi ini memang tidak sepenuhnya salah, sebab teknologi dapat menyelesaikan beberapa masalah yang dihadapi gereja. Tetapi memang tidak semua masalah dapat diatasinya.
Bahaya dari optimisme yang berlebihan adalah investasi yang berlebihan untuk berbagai piranti teknologi tanpa pemahaman yang memadai, sehingga menjadi kemewahan yang berlebihan tanpa hasil keluaran yang optimal. Ini biasanya didorong oleh semangat yang menggebu-gebu dari pemimpin gereja untuk tidak ketinggalan zaman, tetapi tidak didukung oleh sumber daya manusia yang mumpuni. Alhasil gereja bisa membangunnya, tetapi tidak bisa memeliharanya.
Memang kenyataannya tidak mudah mencari sumber daya manusia yang sanggup mengelola teknologi yang bermanfaat bagi gereja. Banyak orang menganggap, "Serahkan kepada orang IT." Namun tidak benar bahwa orang IT bisa melakukan segalanya, sebab dunia teknologi informasi itu sangat luas. Seorang programmer aplikasi perbankan belum tentu bisa membuat situs web, seperti halnya seorang ahli reparasi AC belum tentu bisa memperbaiki mobil yang rusak. Ditambah lagi dengan pertumbuhan media sosial, pengetahuan yang dibutuhkan semakin luas; tidak hanya IT, tetapi juga pemasaran (marketing), desain grafis, dan juga audiovisual.
Tantangan
Perlu diakui bahwa rata-rata jemaat lebih maju dalam memanfaatkan teknologi dibandingkan pengurus gereja. Ini akan menimbulkan tantangan. Berikut ini diangkat beberapa di antaranya.
Pertama, bagaimana mengatasi masalah pastoral yang terkait teknologi. Jemaat mengalami berbagai masalah baru yang menantang bagi tim penggembalaan gereja. Pornografi merupakan masalah klasik, tetapi ada pula masalah lain yang bisa jadi tidak kalah peliknya seperti kecanduan gadget, rusaknya hubungan rumah tangga akibat kencan dating (online), ajaran sesat yang menjaring anggota keluarga, penipuan daring, pencurian data pribadi, dan sebagainya.
Kedua, bagaimana menyikapi isu-isu mutakhir yang dipopulerkan oleh teknologi. Sebagai dampak dari berita dan opini dating di Internet yang dibagikan melalui media sosial, maka gereja tidak dapat lagi berdiam diri dan tidak mengambil sikap terhadap isu-isu populer. Sebagai contoh, Pemilihan Umum 2014 lalu berbeda dengan Pemilu-Pemilu sebelumnya, sebab penggunaan teknologi dalam membangun opini dan mempengaruhi pemilih sangat terasa. Orang yang sebelumnya tidak peduli soal politik pun mendadak bisa menjadi "ahli politik" akibat banyak membaca yang dibagikan teman-temannya di Facebook atau Twitter, baik yang fakta maupun yang fitnah. Politik juga sampai sekarang masih mewarnai perbincangan di media sosial.
Namun ada pula isu-isu yang sebelumnya jarang dibicarakan oleh orang-orang Kristen di Tanah Air tetapi akibat teknologi menjadi terjangkau dan semakin akrab bagi jemaat. Dalam waktu mendatang, gereja bukan hanya perlu menghadapi perbedaan pandangan politik jemaat, tetapi perlu juga menyikapi isu-isu kontroversial seperti homoseksualitas, aborsi, eutanasia, kloning, pemanasan global, dan sebagainya. Itu akan termasuk dalam pokok pembicaraan jemaat, terutama generasi muda. Menyikapi isu-isu ini tidak sesederhana sebelumnya, karena mereka juga semakin tidak gampang percaya apa yang dikatakan pendeta tanpa mencari opini pembandingnya di Internet dan media sosial. Oleh karenanya para pelayan Tuhan perlu memperkaya pengetahuannya dan memperluas wawasannya terhadap isu-isu yang berkembang di dunia. Dalam hal ini teknologi juga berperan sebagai alat bantunya.
Ketiga, bagaimana menyikapi serangan "gereja maya." Jemaat terutama generasi muda menjadi pengguna "gereja maya" yang tidak mengenal batasan tembok, pintu dan jendela. Memang gereja maya dalam arti penyedia ibadah maya benar-benar sudah ada di Internet, dengan puluhan ribu "anggota jemaat" yang menghadiri ibadah-ibadahnya cukup dengan melakukan login pada komputer pribadi, smartphone atau tablet mereka di kehangatan rumah masing-masing. Seluruh kegiatan ibadah terutama praise and worship dan khotbah dilakukan secara daring. Persembahan dikirimkan melalui layanan pembayaran daring, bahkan ada yang memberikan opsi autodebet agar jemaat tidak lupa memberikan persepuluhan. Dan lebih menariknya lagi ada chat room sebagai forum diskusi daring yang dapat diakses sehingga di tengah ibadah, anggota jemaat dapat mengobrol dan mengomentari khotbah-sesuatu yang tidak diharapkan terjadi dalam ibadah konvensional. Yang menjadi pertanyaan tentu adalah bagaimana caranya melakukan sakramen secara daring.
Di Indonesia, beberapa gereja juga sudah melakukan live streaming ibadah-ibadahnya yang sebetulnya merupakan langkah awal menuju ibadah maya. Ini memang baik untuk menyebarkan kebenaran Firman Tuhan sampai ke ujung bumi, tetapi yang perlu diwaspadai adalah pandangan jemaat bahwa ibadah tidak harus datang ke gedung gereja. Cukup membuka laptop dan ikut ibadah live streaming, itu sudah cukup. Kalau tergerak memberi persembahan, bukankah gereja juga menyediakan nomor rekeningnya? Menghadapi kenyataan ini mungkin mereka dapat dinasihati bahwa gereja juga butuh sentuhan manusia dalam pertemuan dan persekutuan bersama dalam arti di dunia nyata, dengan mengutip ayat semisal Ibr. 10:25. Tetapi di tengah dunia yang semakin sibuk ini bisa semakin banyak orang yang berpandangan, ayat itu harus dikontekstualisasikan ke zaman sekarang, sebab di zaman para rasul belum ada Internet. Akan semakin banyak orang yang beranggapan bahwa pertemuan bersama itu mungkin dan sah untuk dilakukan di dunia maya.
Di samping tersedianya live streaming, sekarang "gereja maya" juga terbentuk dalam komunitas Kristen daring yang dapat didirikan oleh siapa saja, diikuti oleh siapa saja, dan dapat mengajarkan apa saja yang mereka anggap benar. Misalnya, seorang anak SMA dapat menulis blog Kristen dan dibaca oleh seorang ibu rumah tangga, disebarkan ke teman-temannya, lalu menjadi bahan renungan dalam persekutuan doa mereka.
Teknologi memungkinkan informasi tersebar dengan mudah. Sekarang komponen-komponen "gereja maya" sudah sangat mudah ditemui: blog, audio dan video baik streaming maupun tidak, podcast, buku elektronikyang disebarkan dari mulut ke mulut melalui media sosial dan aplikasi pengiriman pesan. Hasilnya semakin banyak jemaat yang selain menghadiri ibadah di gereja lokalnya sendiri juga mengonsumsi konten "gereja maya." Mereka mendapatkan santapan rohani dari Internet, melakukan sharing dan meminta konseling pastoral di forum daring, mengunduh lagu-lagu rohani dari situs-situs yang menyediakannya. Tentu konten-konten berisi kebenaran yang murni dan dapat dipertanggungjawabkan akan mendapatkan persaingan ketat dari konten-konten yang sesat, berbahaya dan mengelabui jemaat.
Memanfaatkan Teknologi
Di tengah tantangan-tantangan tersebut, tentu ada peluang yang dibuka oleh perkembangan teknologi hari ini. Untuk itu gereja tidak boleh menutup diri, tetapi tidak juga dengan serta-merta menerima semuanya. Dalam hal ini dibutuhkan hikmat.
Dengan teknologi, gereja menjadi lebih mudah menyebarkan pesan Firman Tuhan, menyajikan konten-konten yang meneguhkan jemaat, melakukan penginjilan, memberikan informasi kepada khalayak ramai, menanggapi pertanyaan dan permintaan konseling dari jemaat. Teknologi juga dapat menjadi pendukung acara ibadah. Kini sudah tersedia berbagai sistem presentasi multimedia untuk gereja yang dapat digunakan dalam ibadah. Perekaman video hingga live streaming ibadah pun tidak lagi merupakan hal yang terlalu sulit atau mahal.
Namun perlu diingat, dengan banyaknya persaingan dari konten-konten yang dipertanyakan, maka gereja perlu mengemas dan menyajikan konten-kontennya dengan baik, agar menarik, berkualitas unggul, dan tampak layak dipercaya. Sekadar memiliki situs web dan hadir di media sosial saja belum cukup. Untuk itu keterlibatanpara pakar di bidang ini dibutuhkan untuk membantu dalam penyajian konten, dan juga melakukan pelatihan bagi pengurus serta memberikan seminar bagi jemaat.
Di samping itu gereja perlu tetap memelihara keterlibatan jemaat dalam pertemuan jemaat secara fisik. Pertemuan maya tidak dapat menyaingi keunggulan hubungan antar manusia secara tatap muka. Ketulusan dalam kasih, perhatian, keramahtamahan dan pelayanan di dunia nyata harus dipelihara agar komunitas fisik tetap terjaga dan tidak tergantikan oleh komunitas maya. Gereja perlu memerangi kesepian, ketidakpedulian, keegoisan yang ada dalam diri anggota jemaat dan membangkitkan gairah mereka untuk bertemu dengan sesama saudara seiman di dunia nyata.
Diambil dari:
Nama situs: BPD GBI DKI Jakarta
Alamat URL: http://www.bpdgbidki.com/index.php/66-teknologi-peluang-dan-tantangannya-bagi-gereja
Judul artikel: TEKNOLOGI: Peluang dan Tantangannya Bagi Gereja
Penulis artikel: Pdm. Mark P. Eliasaputra, M.M., M.Th.
Tanggal akses: 7 Januari 2016