Teknologi modern adalah hal yang luar biasa, dan sangat mengesankan bagi seseorang seusia saya. Ketika saya masih kecil, saya sering bertanya-tanya pada orang-orang yang saya kenal yang hidup sebelum adanya pesawat terbang, produksi massal mobil, dan penemuan antibiotik. Dengan teknologi yang berkembang dengan kecepatan tinggi, saya telah menjadi salah satu dari orang-orang yang saat ini dipandang sebelah mata oleh kaum muda.
Saya tumbuh besar ketika mobil-mobil memiliki dasbor baja yang dicat, tombol-tombol kontrol yang runcing, dan rak di bawah jendela belakang untuk tempat tidur anak-anak selama berkendara. Satu-satunya "kantung udara" di mobil kami adalah lengan ibu saya ketika dia mengulurkan tangan untuk memegangi kami di kursi.
Saat itu, hanya ada tiga saluran televisi dan kami menggunakan kertas timah untuk mendapatkan penerimaan yang lebih baik. Saya ingat truk pengangkut susu, latihan pertahanan sipil, dan tempat perlindungan bom di halaman belakang rumah. Saya ingat diusir dari rumah pada pagi hari dan tidak boleh kembali ke rumah sampai makan malam.
Segalanya telah berubah! Saat ini, kursi mobil anak dilengkapi dengan tanggal kedaluwarsa; kursi booster digunakan hingga sabuk pengaman mobil pas untuk anak, biasanya pada usia 12 atau 13 tahun. Saat ini, ada lebih banyak saluran, lebih banyak layanan, dan lebih banyak hiburan yang dapat diakses secara instan daripada yang dapat dikonsumsi oleh siapa pun. Sekarang Anda bisa berbelanja, mengejar gelar sarjana, bank, kencan, dan berbagi foto makan malam atau kucing Anda tanpa harus meninggalkan rumah. Dan, jika Anda meninggalkan rumah, ponsel pintar Anda dapat berfungsi sebagai kamera, kalender, navigator, atau apa pun yang Anda butuhkan.
Tidak ada yang akan membantah bahwa teknologi adalah pedang bermata dua. Perangkat yang nyaman di satu sisi, sebenarnya merugikan kita di sisi lain. Saya sedang duduk di ruang belakang panggung di gereja dan memperhatikan bahwa semua orang terpaku pada ponsel mereka; tidak ada yang berbicara. Dalam banyak hal, kenyamanan telah memisahkan kita. Kita tenggelam dalam informasi, tetapi kita tidak memiliki kebijaksanaan relasional untuk memanfaatkannya.
Hal yang sama dapat dikatakan untuk gereja. Mari kita jujur. Ada suatu masa ketika anak-anak dan murid-murid merasa tidak nyaman dengan gereja tradisional dan diberikan ruang-ruang lain yang lebih cocok untuk mereka di mana mereka dapat beribadah dan belajar. Ketika anak-anak itu tumbuh menjadi pemimpin, metode-metode itu pun menyesuaikan diri dengan mereka. Saat ini, teknologi mengelilingi segala sesuatu yang dilakukan gereja. Lampu-lampu diprogram, kabut teatrikal memberikan tubuh dan gerakan pada lampu, sistem suara yang mahal mendukung lingkungan dan suasana hati, dan kamera menangkap pengalaman untuk audiens online. Sebagian besar pemberian persembahan terjadi secara online, email dan Facebook telah menggantikan buletin gereja, dan khotbah diarsipkan di cloud.
Gereja kami tidak banyak berspekulasi lagi tentang jemaat kami. Sebagai gantinya, kami melakukan survei online, bekerja dengan data besar untuk memahami hubungan gereja kami dengan komunitasnya, menggunakan Net Promoter Score untuk mengukur seberapa besar kemungkinan jemaat mengundang teman-teman mereka, dan melacak frekuensi kehadiran melalui registrasi anak, pemberian, dan pelayanan. Kami menggunakan database untuk laporan, komunikasi, tren pemberian, dan pemetaan jemaat. Kami menggunakan situs web kami untuk membiasakan orang-orang dengan gereja kami dan sebuah aplikasi yang memungkinkan interaksi mutakhir dari mana saja.
Teknologi telah sepenuhnya mengubah gereja. Kami tidak lagi secara harfiah menggunting dan menempelkan buletin dan newsletter. Daftar jemaat kami tidak disimpan dalam buku besar dan daftar kehadiran, pemberian, dan nomor lagu kami tidak ditempelkan pada papan kayu. Di gereja-gereja saat ini, lebih sedikit orang yang mengenakan jas, dasi, gaun, dan sepatu hak tinggi, dan tidak banyak lagi pemimpin nyanyian berjubah yang menyanyikan lagu No. 62 dengan birama 4/4. Sebagian besar gereja tidak menyanyikan Doksologi saat diaken mengantar persembahan pagi ke meja Perjamuan.
Para pendiri Gerakan Pemulihan berniat untuk kembali ke gereja yang primitif -- sebuah gereja tanpa hirarki denominasi, kredo, dan pembagian antara pendeta dan awam. Akan tetapi, sebuah gereja yang primitif dalam kepercayaannya tidak harus tetap primitif dalam alat yang digunakannya untuk menyebarkan pesan Injil.
Gereja Kisah Para Rasul 2 adalah gereja yang baru dan menarik -- gereja ini mendobrak semua tradisi agama Yahudi -- sehingga tidak lama kemudian gereja ini dihina dan dianiaya.
Gereja ini adalah gereja yang dibaptis dengan selam, mengabdikan diri untuk belajar dan membaca firman Tuhan, berada di bawah otoritas gereja lokal, menikmati persekutuan "satu sama lain", berpartisipasi dalam Perjamuan Mingguan, berdoa bersama, menggunakan karunia-karunia mereka untuk membangun tubuh, memberi dengan murah hati, memuji Allah dalam ibadah, dan menyaksikan pertumbuhan yang hanya dapat diberikan oleh Roh Kudus (Kisah Para Rasul 2:41-47).
Apapun alat teknologi yang kita miliki, mari kita gunakan untuk memuliakan Tuhan dan menyampaikan pesan Injil kepada dunia yang sangat membutuhkan-Nya. (t/Yosefin)
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | Christian Standard |
Alamat artikel | : | https://christianstandard.com/2020/02/technology-and-the-church/ |
Judul asli artikel | : | Technology and the Church |
Penulis artikel | : | Jerry Harris |