Sering dikatakan bahwa teknologi hanyalah alat. Argumen tipikalnya biasanya terdengar seperti ini: yang penting bukanlah teknologinya, tetapi apa yang Anda lakukan dengan teknologi. Gagasan ini gagal menyadari bahwa teknologi itu sendiri mengandung sebuah pesan. Semenjak komputer pribadi pertama muncul lebih dari tiga puluh tahun lalu, teknologi komputer telah mengubah pendidikan. Sebagai pendidik Kristen, kita mengakui potensi terpendam dalam penciptaan teknologi komputer dan bagaimana itu adalah sebuah anugerah dari Allah. Akan tetapi, teknologi sering kali mengubah hal-hal secara halus, dan diperlukan kearifan ketika kita memutuskan bagaimana teknologi seharusnya digunakan dalam pendidikan.
Buku Responsible Technology (Teknologi yang Bertanggung Jawab) mendefinisikan teknologi sebagai:
Aktivitas budaya yang khusus yang di dalamnya manusia memprktekkan kebebasan dan tanggung jawab sebagai respons terhadap Allah dengan membentuk dan mengubah ciptaan alami, dengan bantuan berbagai alat dan prosedur, untuk maksud atau tujuan praktis (Monsma 19).
Pengertian di atas mengakui bahwa teknologi adalah aktivitas budaya manusia; teknologi lebih daripada sekadar alat-alat, teknologi itulah yang membentuk dunia (Crouch 23). Kedua, definisi itu juga mengakui bahwa teknologi adalah respons terhadap Allah, sebuah respons yang di dalamnya kita punya baik kebebasan maupun tanggung jawab. Andy Crouch, dalam bukunya yang berjudul Culture Making (Pembuatan Budaya), mengajukan beberapa pertanyaan yang bisa kita tanyakan ketika mengevaluasi perkembangan budaya baru. Dua pertanyaan secara khusus mengakui kuasa luar biasa yang dimiliki oleh budaya (demikian juga teknologi) untuk "membentuk cakrawala kemungkinan" (Crouch 29). Dalam hal teknologi, pertanyaan pertama untuk ditanyakan adalah apa yang membuatnya menjadi mungkin? Dan, kedua, apa yang membuatnya menjadi tidak mungkin atau lebih sulit? (Crouch 29) Sehubungan dengan teknologi komputer, kebanyakan orang tidak punya masalah dengan pertanyaan pertama dan bisa mengindentifikasi semua kemungkinan baru yang dibawa teknologi. Pertanyaan yang kurang jelas adalah bagaimana teknologi komputer akan membuat beberapa hal menjadi lebih susah atau lebih sulit. Pertanyaan kedua ini adalah pertanyaan yang kemungkinan besar Anda jarang mendengarnya dalam pembelajaran di konferensi teknologi atau dari penyedia teknologi, tetapi itu adalah pertanyaan kritis yang harus ditanyakan.
Pertanyaan kedua sedikit tidak masuk akal jika seseorang memandang teknologi "hanya sebagai alat". Pandangan bahwa teknologi hanya sekadar alat melewatkan titik signifikan bahwa teknologi tidak hanya memiliki struktur, tetapi juga arah (Wolters 49). Arah teknologi bukan sekadar bagaimana alat tersebut digunakan, tetapi juga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Argumen Neil Postman dalam bukunya "Technopoly" mengatakan bahwa "dalam setiap alat terkandung bias ideologis, sebuah predisposisi untuk membangun dunia sebagai sesuatu ini dan bukan yang lain, untuk menilai seperti ini dan bukan yang lain, untuk memperkuat satu indra atau kemampuan atau sikap secara lebih jelas daripada yang lain" (Postman 13). Dengan kata lain, teknologi sarat dengan nilai, dan nilai-nilai ini membuat beberapa hal menjadi mungkin, sementara pada saat yang sama membuat hal-hal lain menjadi lebih sulit. Nilai-nilai ini melibatkan berbagai modalitas termasuk aspek-aspek ekonomis, legal, estetis, sosial, dan kultural. Lebih dari itu, kita berangsur-angsur dibentuk untuk berpikir dan mengetahui dengan cara-cara tertentu secara lebih kuat, sedangkan cara yang lain sama sekali tidak. Dalam kutipan Marshall McLuhan dikatakan, "Kita membentuk alat-alat kita, namun kemudian alat-alat ganti membentuk kita."
McLuhan lebih jauh mengatakan dengan frasa yang ia cetuskan "medium adalah pesan". Pepatah ini menekankan fakta bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam teknologi jauh lebih signifikan daripada konten apa pun yang mereka bawa. Ini tidak hanya berlaku untuk teknologi komputer, melainkan berlaku juga untuk teknologi-teknologi yang lebih tua, seperti televisi, mobil, dan kata-kata yang dicetak. Contohnya, kata-kata yang dicetak sebagai medium telah membentuk pendidikan secara mendalam. Akan tetapi, kontennya sering mengalihkan perhatian kita dari nilai-nilai yang mengukir kita ketika kita menggunakan teknologi, entah itu kata-kata yang dicetak atau sesuatu yang lain. McLuhan mengungkapkannya seperti ini, "'konten' sebuah medium seperti sepotong daging segar yang dibawa oleh seorang pencuri untuk mengalihkan perhatian anjing penjaga atau pikiran kita." (McLuhan 18).
Beberapa orang bahkan lebih jauh lagi mengatakan bahwa teknologi bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan. Postman menjuluki ide ini "technopoly", penundukan total terhadap kedaulatan teknologi (Postman 52). Jacques Ellul menulis bahwa "bukan dalam kekuatan individu atau kelompok untuk memutuskan mengikuti beberapa metode selain hal teknis" (Ellul 84). Keharusan yang disebut teknologi ini mengatakan bahwa sekali pengembangan teknologi dijalankan, mereka tidak bisa dihentikan.
Definisi teknologi yang diberikan sebelumnya menyatakan bahwa teknologi bukan suatu kekuatan otonom, melainkan sesuatu yang karenanya kita punya kebebasan dan tanggung jawab. Namun, sikap keharusan teknologi memanifestasikan dirinya sendiri ketika para pendidik ditekan untuk mengadopsi teknologi komputer hanya demi teknologi itu sendiri, atau hanya karena "kita perlu mengejar". Saya mengernyitkan dahi ketika mendengar keputusan pedagogis yang dibuat seolah-olah kita tidak punya pilihan karena "itulah yang digunakan dalam industri", seolah-olah siswa hanyalah pekerja kantor kecil yang sedang dalam masa pelatihan.
Serentetan tulisan belakangan yang mengutip penelitian baru sepertinya mengindikasikan bahwa suara-suara, seperti Postman dan McLuhan, dianggap lebih seperti suara kenabian daripada yang orang banyak sadari. Dalam buku terbarunya iBrain: Surviving the Technological Alteration of the Modern Mind (iBrain: Mempertahankan Perubahan Teknologi Pikiran Modern), ahli syaraf terkemuka, Gary Small, mengeksplorasi bagaimana media digital nampaknya mengubah struktur otak kita. Revolusi digital telah "menjerumuskan kita ke dalam kondisi perhatian parsial yang terus-menerus", dan dalam kondisi ini, orang "tidak lagi punya waktu untuk berefleksi, merenung, atau membuat keputusan bijaksana" (Small 18). Dalam sebuah artikel yang banyak dibaca orang, Nicholas Carr merefleksikan tentang apa yang dibuat lebih sulit oleh web: "Pikiran saya sekarang mengharapkan untuk menerima informasi dengan cara Net mendistribusikannya: dalam arus partikel yang bergerak dengan cepat. Tadinya, saya adalah seorang penyelam scuba dalam lautan kata-kata. Sekarang, saya bergerak dengan sangat cepat di permukaan seperti seorang pria yang mengendarai Jet Ski" ("Is Google Making Us Stupid?" 57). Carr mengembangkan idenya lebih jauh dalam buku yang berjudul The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (Dangkal: Apa yang Internet Lakukan pada Otak Kita). Dalam buku ini, dia mengamati bahwa kita berubah menjadi "orang-orang 'pancake/serabi'--melebar luas dan tipis ketika kita terhubung dengan jaringan informasi yang luas" (196). Bukunya mengacu pada puluhan studi oleh para ahli neurobiologi dan pendidik yang semuanya menunjuk pada kesimpulan yang sama: "Ketika kita pergi daring, kita memasuki lingkungan yang mendorong pembacaan sepintas, pemikiran yang terburu-buru dan teralihkan, dan pembelajaran yang dangkal" (115-116). Carr mengakui bahwa kita bisa berpikir secara mendalam di internet, "tetapi itu bukanlah jenis berpikir yang didorong dan dihargai oleh teknologi" (116). Berkaitan dengan penelitian daring, pembaca tidak cenderung membaca secara hati-hati; mereka hanya membaca sepintas untuk mendapatkan 'buah' informasi yang menggantung rendah.
Sebuah studi pada tahun 2009 di Stanford University menyelidiki pengaruh dari multitasking, sebuah modus umum beroperasi dengan para murid yang adalah "digital native". Bertentangan dengan kesan umum bahwa multitasking bisa menjadikan produktif, studi tersebut menyimpulkan bahwa orang yang multitasking jauh lebih terganggu dengan "rangsangan lingkungan yang tidak relevan" (Ophir et al. 15583). Kesimpulan mereka mendapati bahwa orang yang multitasking secara intensif telah "mengorbankan performa pada tugas utama untuk membiarkan masuk sumber-sumber informasi lain" (15585). Ahli ilmu syaraf Michael Merzenich menuliskan penemuan ini dengan lebih ringkas: Kita "melatih otak kita untuk memperhatikan sampah" (Carr, "The Web Shatters Focus").
Penelitian lain pada tahun 2009 menyelidiki pengaruh teknologi berbasis layar dalam dunia pendidikan. Berdasarkan penelitian mereka, teknologi berbasis layar memperbaiki "kemampuan visual-spasial", sedangkan pada saat yang sama teknologi melemahkan "pengolahan yang mendalam" dan "akuisisi pengetahuan sadar, analisis induktif, pemikiran kritis, imajinasi, dan refleksi" (Greenfield 69). Jenis-jenis tertentu membuat pengenalan bisa lebih kuat, tetapi hal itu mengorbankan cara-cara lain dalam memperoleh pengetahuan.
Penemuan-penemuan jenis ini membawa makna baru bagi perkataan dalam Mazmur 115. Mazmur ini memperingatkan tentang berhala, mengindikasikan bahwa barang siapa percaya kepada mereka akan menjadi seperti mereka (ay. 8). Kepercayaan yang tidak diperiksa baik-baik dalam teknologi digital akan berangsur-angsur membentuk kita (dan murid-murid kita) ke dalam pola pemikiran yang mencerminkan apa yang diajarkan oleh komputer. Ketika ini terjadi, kita berangsur-angsur kehilangan kemampuan kita untuk merenung, merefleksi, dan seterusnya. Sekali lagi, kita mungkin membentuk mesin-mesin kita, tetapi mereka juga membentuk kita.
Beberapa sekolah independen dengan sengaja telah memilih membatasi penggunaan komputer oleh murid-murid yang lebih muda. Situs Waldrof Education menyatakan bahwa "umur yang tepat dalam penggunaan komputer di ruang kelas dan oleh para murid adalah di sekolah menengah atas". Sebagai dasarnya, mereka mengeklaim bahwa lebih penting bagi para murid untuk "berinteraksi dengan satu sama lain dan dengan para guru untuk menjelajahi dunia ide." Demikian halnya, situs web Steiner Australia Education menyatakan bahwa "segala jenis kemampuan komputer menjadi lebih diperlukan dalam dunia sekarang ini, tetapi kami tidak percaya bahwa itu tepat atau relevan bagi anak-anak untuk terlibat dengan kemampuan-kemampuan tersebut sejak usia muda."
Bagaimana sekolah-sekolah Kristen menawarkan pendekatan yang bertanggung jawab dan istimewa terhadap penggunaan teknologi? Pertama, kita perlu menghindari jebakan menjadi "nabi bermata satu", yang melihat hanya kebaikan atau keburukan teknologi-teknologi baru (Postman 5). Sekolah-sekolah Kristen juga perlu menolak tekanan keharusan menggunakan teknologi, dan sebaliknya, mulai menanyakan apa yang bisa kita dapat dan apa yang menjadi kehilangan dengan menggunakan teknologi-teknologi baru. Para murid seharusnya memiliki variasi dalam diet media karena masing-masing media menguatkan beberapa hal lebih daripada yang lain. Para murid seharusnya tidak hanya diajarkan dengan media, tetapi juga tentang media dan pesan-pesannya yang tersembunyi. Meski begitu, sering kali sulit untuk melihat pesan dan dampak dari teknologi-teknologi baru. Dalam bukunya, Desiring the Kingdom (Menginginkan Kerajaan Allah), penulis Jamie Smith membuat kasus yang kuat bahwa kita bukan sekadar "otak di atas tongkat", melainkan pencinta yang diarahkan oleh hati kita. Hati kita, pada gilirannya, dibentuk oleh praktik dan "liturgi" sehari-hari (Smith 88). Liturgi-liturgi ini termasuk kebiasaan dan praktik teknologi kita. Kita perlu waspada terhadap banyaknya cara yang kuat dan halus dari teknologi dalam membentuk kita.
Kita bisa bersyukur atas teknologi komputer dan atas banyak hal yang dibuatnya menjadi mungkin. Akan tetapi, kita perlu bersikap rendah hati ketika mengatasi masalah-masalah yang tidak diharapkan yang hampir pasti selalu muncul bersamaan dengan teknologi-teknologi digital baru. Kita juga bisa saling belajar, selain belajar dari sekolah dalam berbagi praktik-praktik terbaik, kita juga belajar pelajaran dari praktik-praktik yang kurang baik. Ketimbang secara pasif membiarkan pesan-pesan dalam teknologi digital membentuk dan mengukir kita, kita perlu menjaga tujuan utama pendidikan Kristen agar tetap berada dalam benak kita: yaitu secara intensional membentuk hati dan pikiran bagi pelayanan dalam kerajaan Allah. (t/Odysius)
Karya-karya yang dikutip
- Carr, Nicholas. "Is Google Making Us Stupid?" The Atlantic Monthly. July/August (2008): 56-63.
- Carr, Nicholas. The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains. New York: W. W. Norton & Company, 2010.
- Carr, Nicholas. "The Web Shatters Focus, Rewires Brains", 24 May 2010, Wired Magazine, 3 December 2011, <http://www.wired.com/magazine/2010/05/ff_nicholas_carr/>.
- Crouch, Andy. Culture-Making: Recovering Our Creative Calling. Downers Grover, IL: InterVarsity Press, 2008.
- Ellul, Jacques. The Technological Society. New York: Vintage Books, 1964.
- Greenfield, Patricia M. "Technology and Informal Education: What Is Taught, What Is Learned." Science 323.5910 (2009): 69-71.
- McLuhan, Marshall. Understanding Media: The Extensions of Man. New York: McGraw Hill, 1964.
- Monsma, Stephen (ed.). Responsible Technology: A Christian Perspective. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1986.
- Ophir, Eyal, et al. "Cognitive Control in Media Multitaskers." Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 106.37 (2009): 15583-7.
- Postman, Neil. Technopoly: The Surrender of Culture to Technology. New York: Vintage Books, 1993.
- Small, Gary. iBrain: Surviving the Technological Alteration of the Modern Mind. New York: William Morrow, 2008.
- Smith, Jamie. Desiring the Kingdom: Worship, Worldview, and Cultural Formation. Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2009.
- "Stiener Education Overview", Stiener Schools Australia. 3 December 2011. <http://www.steiner-australia.org/other/overview.html>.
- "Waldorf Education: Frequently Asked Questions", Association of Waldorf Schools of North America. 3 Dec. 2011. <http://www.whywaldorfworks.org/02_W_Education/faq_about.asp>.
- Wolters, Albert. Creation Regained. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1985.
Diterjemahkan dari:
Nama situs | : | Christian Educators Journal |
Alamat URL | : | http://www.cejonline.com/article/technology-has-a-message/ |
Judul artikel | : | Technology Has a Message |
Penulis artikel | : | Derek C. Schuurman |
Tanggal akses | : | 27 April 2017 |